Memasuki tahun ini, masyarakat dikejutkan dengan isu banyaknya peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang ditolak berobat di sejumlah rumah sakit. Alasannya, rumah sakit ini sudah tidak lagi bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pembenahan mutu pelayanan kesehatan menjadi penyebab BPJS Kesehatan memutus kontrak dengan rumah sakit tersebut, sehingga tidak bisa lagi menerima pasien JKN.

Sejak 1 Januari 2019, BPJS Kesehatan sudah memutuskan kontrak kerja sama dengan 92 rumah sakit di berbagai daerah. Banyak masyarakat menganggap pemutusan kontrak ini terkait dengan kondisi keuangan BPJS Kesehatan. Sejak didirikan, BPJS Kesehatan memang menghadapi defisit arus kas. Pada 2014, defisitnya mencapai Rp 3,8 triliun dan membengkak menjadi Rp 9,75 triliun pada 2017. Tahun lalu defisit BPJS Kesehatan diperkirakan mencapai Rp 10,9 triliun.

Saban tahun pemerintah harus menyuntikkan dana untuk menutup defisit tersebut. Sepanjang tahun lalu saja, dana yang sudah dikeluarkan pemerintah mencapai Rp 10 triliun. Sebagian besar dana ini digunakan untuk membayar klaim rumah sakit dari peserta JKN.

(Baca: BPJS Bantah Kerja Sama dengan Rumah Sakit Disetop Karena Defisit)

Namun, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris membantah kondisi keuangan menjadi penyebab berhentinya kerja sama dengan sejumlah rumah sakit. "Kami sampaikan informasi tersebut tidak benar, bukan di situ masalahnya,” ujarnya di Jakarta, Senin (7/1).

Menurutnya, sampai saat ini pembayaran oleh BPJS Kesehatan tetap berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila ada fasilitas kesehatan yang belum terbayarkan oleh BPJS Kesehatan, rumah sakit dapat menggunakan skema supply chain financing dari pihak ketiga, seperti perbankan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Dia menjelaskan pemutusan kontrak dilakukan karena rumah sakit tersebut tidak memenuhi persyaratan kerja sama yang telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Ada syarat kredensial yang harus dipenuhi, untuk menjamin agar rumah sakit bisa memberikan pelayanan kesehatan yang baik bagi peserta JKN.

Untuk memenuhi syarat kredensialing, tak cukup dengan sertifikat akreditasi. Rumah sakit juga harus memiliki Surat Izin Operasional, Surat Penetapan Kelas Rumah Sakit, dan Surat Izin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik. Kemudian Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP) badan, perjanjian kerja sama dengan jejaring, dan surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan JKN.

Persyaratan ini seharusnya sudah diterapkan untuk semua kontrak kerja sama BPJS Kesehatan dengan rumah sakit sejak 2014. Namun, karena banyak rumah sakit yang belum siap, pemerintah memberikan perpanjangan waktu hingga 1 Januari 2019. Ternyata, tidak semua rumah sakit patuh. Hingga akhir tahun lalu, jumlah rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan mencapai 2.217 unit. Dari total tersebut, baru 67,5% atau 1.497 unit rumah sakit yang terakreditasi.

(Baca: BPJS Kesehatan Luruskan Alasan Setop Kerja Sama dengan Rumah Sakit)

Menteri Kesehatan Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek mengatakan pemerintah telah memperingatkan rumah sakit - rumah sakit tersebut mengurus persyaratan ini sejak lima tahun lalu. “Ini kan salah satu syarat kredensial dari BPJS Kesehatan. Ini bukan baru sekarang, tapi sudah lama dan pemerintah daerah juga sudah kami ingatkan,” ujarnya di Jakarta (9/1).

Pemerintah dan BPJS Kesehatan pun melakukan langkah tegas dengan memutus kontrak rumah sakit yang tidak memenuhi syarat. Masalahnya, langkah tegas ini malah berdampak kurang baik. Banyak keluhan masyarakat tidak bisa mendapat layanan, karena ditolak berobat ke beberapa rumah sakit yang sudah tidak lagi menjadi mitra BPJS Kesehatan. Keterbatasan waktu, jarak, dan lainnya, membuat peserta BPJS Kesehatan sulit mencari rumah sakit lain yang bisa melayani mereka. Padahal dari 720 rumah sakit yang bermasalah, BPJS baru memutukan kontrak dengan 92 rumah sakit.

Kepala bidang advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar memperkirakan lebih dari 1 juta peserta JKN terancam tidak bisa mendapatkan layanan BPJS Kesehatan secara maksimal. Ini akibat dari langkah tegas BPJS Kesehatan dalam membenahi kontrak kerja sama dengan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit.

Dari 92 rumah sakit yang diputus kontrak oleh BPJS Kesehatan, sebanyak 65 diantaranya karena gagal akreditasi. Timboel mengasumsikan satu rumah sakit memiliki 50 kamar perawatan, sehingga total dari 65 rumah sakit mencapai 3.250 kamar. Jika satu kamar berisi tiga orang, kemungkinan akan ada 9.750 orang peserta BPJS Kesehatan yang bisa terdampak.

Dengan asumsi masa perawatan satu orang sekitar tiga hari dan kamar-kamar hanya terisi 80%, maka dalam satu tahun sebanyak 949 ribu orang akan terdampak kebijakan tegas ini. "Kalau saya sih menghitung secara kasar satu jutaan pasien bisa (terdampak) satu tahun," ujarnya seperti dikutip BBC News Indonesia, Senin (7/1). Angka ini belum termasuk jumlah rumah sakit yang tidak memenuhi syarat kredensialing lain di luar akreditasi.

Akibat permasalahan ini, Komisi IX DPR pun memanggil Menteri Kesehatan dan BPJS Kesehatan untuk Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Rabu (9/1). Ketua Komisi IX Dede Yusuf menyatakan pada dasarnya komisi kesehatan mendukung peningkatan mutu pelayanan melalui akredensial ini. Namun, dia meminta proses ini dilakukan dengan cepat, sehingga dampaknya tidak terlalu lama pada pelayanan BPJS Kesehatan.

(Baca: Proses Akreditasi, Rumah Sakit Tetap Harus Layani Pasien JKN-KIS)

Akhirnya, kekhawatiran masyarakat terjawab. BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan sepakat memperpanjang kerja sama dengan rumah sakit yang belum memenuhi persyaratan kredensial, terutama akreditasi. Dengan begitu, rumah sakit tersebut tetap dapat memberikan pelayanan bagi peserta JKN-KIS.

Namun, ada syaratnya. Rumah sakit yang belum melaksanakan akreditasi wajib melakukan pembenahan dan perbaikan terkait kredensialing ini sebelum Juni 2019. Memang prosesnya tidak mudah dan perlu biaya. Untuk mendapatkan sertifikat akreditasi saja, rumah sakit harus mengeluarkan dana sekitar Rp 80 juta.

"Kami berharap rumah sakit bisa memanfaatkan toleransi yang diberikan pemerintah tersebut untuk segera menyelesaikan akreditasinya," ujar Fachmi.

Dengan adanya pelonggaran waktu ini, Fachmi meminta masyarakat tidak perlu khawatir lagi dengan pelayanan BPJS Kesehatan di rumah sakit. Dia menegaskan bahwa pasien JKN tetap bisa berkunjung ke rumah sakit dan memperoleh pelayanan kesehatan dengan normal seperti biasanya.

(Baca juga: Resep Baru Pemerintah Mengobati Defisit BPJS Kesehatan)

Jumlah Peserta JKN
(BPJS Kesehatan)

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami