Dua bulan berturut-turut Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan atau 7-Day Reverse Repo Rate (7-DRRR). Terakhir, pada pekan lalu suku bunga turun 25 basis poin menjadi 5,5%.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, suku bunga fasilitas simpanan (depost facility) juga turun 25 basis poin menjadi 4,75%. Demikian pula dengan suku bunga pinjaman (lending facility) yang turun 25 basis poin ke 6,25%.

Bank sentral meyakini kebijakan ini konsisten dengan perkiraan inflasi yang berada di bawah titik tengah perkiraannya, sebesar 3,5%. Keputusan itu juga akan tetap menarik bagi imbal hasil investasi aset keuangan domestik dan mendukung stabilitas ekonomi dari sisi eksternal.

“Kebijakan makro prudensial tetap akan akomodatif untuk mendorong kredit perbankan termasuk pembiayaan ramah lingkungan,” kata Perry pada Kamis (22/8) lalu.

Namun, penurunan suku bunga acuan sepertinya tak dapat langsung mendorong penyaluran kredit perbankan. Masalahnya, saat ini likuiditas perbankan sangat ketat. Hal ini terlihat dari parameter ketersediaan dana (likuiditas) bank untuk memenuhi penyaluran kredit atau Loan to Deposit Ratio (LDR).

(Baca: Sektor Jasa Keuangan Stabil, Kredit Bank Semester I 2019 Tumbuh 9,9%)

Pada Juni 2019 angkanya berada di level 94,98%. Kondisinya membaik jika dibandingkan bulan sebelumnya di 96,19%, level tertinggi sejak awal tahun ini. Padahal, menurut aturan BI, batas atas LDR adalah 92%.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bank kategori BUKU III mengalami likuiditas paling ketat. Sementara, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut ini, bank BUKU I memiliki LDR paling longgar.

Kategori Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV adalah bank yang memiliki modal inti terbesar, lebih dari Rp 30 triliun. Ada enam bank yang masuk kategori ini, yaitu BRI, Bank Mandiri, BNI, BCA, Bank CIMB Niaga, dan Bank Panin.

Pada semester I-2019 tak semua bank tersebut LDR-nya di bawah 92%. Hanya BCA, BNI, dan Bank Panin saja di bawah target itu. Bank Mandiri rasionya mencapai 94,17%, BRI 94%, dan CIMB Niaga 95%.

Untuk kategori BUKU III modal intinya Rp 5 triliun sampai Rp 30 triliun. Sebagai contoh, pada semester lalu LDR Bank Permata mencapai 93%. BTN sejak 2015 terus berada di atas 100% akibat ekspansi kredit untuk pembiayaan program sejuta rumah murah yang dicanangkan pemerintah. Posisi LDR Bank OCBC NISP di 91,1%.

Lalu, bank dengan kategori BUKU II modal intinya Rp 1 triliun sampai Rp 5 triliun. Terakhir, BUKU I modal intinya kurang dari Rp 1 triliun.

OJK juga mencatat penyaluran kredit pada Juni lalu mengalami penurunan. Pertumbuhannya melambat menjadi 9,94% secara tahunan dibandingkan Mei 2019 yang sebesar 11,05%.

Dengan kondisi itu, BI tetap optimisitis pertumbuhan kredit perbankan tahun ini dapat mencapai kisaran 10%-12%. Likuiditas bank diprediksi tetap terjaga. Suku bunga kredit bank akan turun seiring dengan suku bunga acuan.

Perry mengatakan sepanjang tahun ini bank mulai menurunkan bunga kredit sebesar 6 basis poin atau 0,06%. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, penurunannya sudah mencapai 0,3%.  "Hampir semua suku bunga kredit turun, modal kerja, investasi, dan konsumsi," ujar Perry. Rata-rata bunga kredit pada Juni 2019 tercatat sebesar 10,73%, turun 0,07% dibanding akhir tahun lalu sebesar 10,8%.

(Baca: OJK Perkirakan Likuiditas Perbankan Membaik Tahun Ini)

Bank uang
Ilustrasi aktivitas perbankan. Bank Indonesia baru saja menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 5,5%, di tengah kondisi likuiditas perbankan yang masih kering.  (Arief Kamaludin|KATADATA)

Likuiditas Terus Kering

Menurut laporan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 13 Agustus lalu, pertumbuhan kredit perbankan hingga Juni 2019 mencapai 9,92% secara tahunan. Dana pihak ketiga (DPK) naik 7,42%.

Angka DPK itu membaik dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini dipicu kembalinya dana simpanan pasca Lebaran 2019. Dengan demikian, LDR berada di level 94,28%, sedikit lebih baik ketimbang data OJK.

LPS melihat laju pertumbuhan kredit masih akan lebih tinggi dibanding DPK. Hal ini sejalan dengan langkah pelonggaran kebijakan giro wajib minimum (GWM) dan suku bunga moneter yang dilakukan BI.

Ruang ekspansi terlihat cukup terbuka untuk bank besar. Sementara, bank menengah dan kecil akan lebih ditentukan laju pertumbuhan dana.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Pieter Abdullah Redjalam mengatakan kondisi ketatnya likuiditas perbankan sudah terjadi sejak lama. Penyebab utamnya adalah kebijakan BI yang kerap melakukan kontraksi.

Ia merujuk pada laporan ekonomi yang diterbitkan BI setiap tahun. Bank sentral merespon perbankan yang kesulitan likuiditas dengan cara operasi moneter yang kontraktif. Kebijakan ini ditujukan untuk memperlambat kegiatan ekonomi, seperti menurunkan jumlah uang yang beredar.

Dengan kebijakan yang kontraktif, maka dana perbankan terserap ke BI. Kemampuan bank dalam menciptakan uang melalui penyaluran kredit berkurang. “Dampaknya, likuiditas perekonomian terus tertahan bahkan cenderung menurun,” kata Pieter ketika dihubungi Katadata.co.id.

(Baca: Mewaspadai Likuiditas Ketat Perbankan dan Perebutan Dana Masyarakat)

Kondisi ini juga terlihat dari rasio peran layanan sektor keuangan dalam pembentukan Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB). Selama lebih dari satu dekade, rasio Indonesia tertahan di bawah 40%.

Pieter menilai kondisi itu sudah jauh tertinggal dibandingkan negara Asia lainnya. Misalnya, Thailand, Malaysia, dan Singapura yang rasio M2 per GDP-nya di kisaran 125%. Lalu, Cina di 200%. Jepang bahkan sudah lebih maju lagi di 250%.

Menurut definisi BI, M2 adalah uang dalam arti luas. Termasuk di dalamnya uang kartal yang dipegang masyarakat dan uang giral, ditambah uang kuasi (tabungan, simpanan berjangka, serta giro dalam valuta asing), dan surat berharga yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun. 

“Kita memang sangat kekeringan likuiditas,” ucap Pieter. Sayangnya, BI justru melihat sebaliknya dan terus melakukan kontraksi moneter.

Pemerintah yang saat ini banyak menerbitkan surat utang negara (SUN), menurut dia, hanya berdampak mengurangi likuiditas perbankan dalam periode sangat pendek.

Keringnya likuiditas saat ini, ia meyakini, karena kebijakan kontraktif BI, meskipun saat ini mulai berkurang. “Perlu kebijakan moneter ekspansif dan dalam periode panjang untuk menjadikan likuiditas perbankan benar-benar longgar,” katanya.

(Baca: Ancaman Kekeringan Likuiditas Mengintai Perbankan)

Bank uang
Ilustrasi aktivitas perbankan. Bank Indonesia baru saja menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 5,5%, di tengah kondisi likuiditas perbankan yang masih kering. (Arief Kamaludin|KATADATA)

Suku Bunga Kredit Bank Turun?

Terlepas dari semua kondisi itu, publik tentu bertanya-tanya kapan bunga kredit turun. BI sudah dua kali menurunkan suku bunga acuan, tapi hal itu tak terlalu terasa dengan bunga kredit perbankan.

Menurut Pieter, potensi itu masih ada. Tapi situasinya tidak bisa cepat. “Prosesnya akan lambat,” katanya. Likuiditas bank masih ketat dan bank sentral belum melakukan kebijakan moneter ekspansif yang mendorong kegiatan ekonomi.

Direktur Utama BCA Jahja Setiatmadja mengaku pihaknya masih perlu mengkaji dampak dari penurunan bunga acuan BI. Sejauh ini, menurut Jahja, BCA telah menurunkan bunga deposito sebesar 0,25% dan bunga kredit secara selektif.

"Bunga kredit sudah ada yang turun, tapi tergantung tingkat risiko nasabah, jadi tidak merata. Ke depan, bunga KPR bisa saja diturunkan tapi belum kami hitung," kata Jahja pada Jumat lalu.

Meski bunga KPR diturunkan, Jahja menilai permintaan kredit properti masih tetap lemah tahun ini. Hingga semester pertama tahun ini, penyaluran kredit rumah BCA tercatat mencapai Rp 87,8 triliun atau baru naik 3,2% dibanding posisi akhir tahun lalu.

(Baca: JK Minta BI dan Perbankan Turunkan Bunga Kredit Menjadi Sekitar 7%)

Senada dengan Jahja, Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo juga belum membuat perhitungan terkait dampak penyesuaian bunga acuan BI. "BRI baru saja menurunkan bunga kredit untuk semua segmen 0,25% dua pekan lalu. Nanti kami hitung lagi penurunan berikutnya, semua segmen punya potensi, termasuk KPR," kata Haru.

Direktur Consumer Banking CIMB Niaga Lani Darmawan juga masih menghitung dampak penurunan bunga acuan BI terhadap biaya dana perseroan. "Tapi memang biasanya kami sesuaikan penurunan berdasarkan bunga acuan BI," ungkap dia.

Lani pun menyebut jenis Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) berpeluang untuk disesuaikan. Saat ini, CIMB Niaga menetapkan suku bunga dasar kredit (SBDK) untuk segmen KPR sebesar 9,9%.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami