Pandemi corona memukul banyak sektor bisnis, tanpa kecuali usaha rintisan atau startup digital. Lupakan aneka promo, diskon, dan cashback karena aksi bakar uang itu telah berlalu. Kini, yang ada di depan mata para pendiri dan pemilik startup adalah: omzet menurun drastis dan arus kas mengering sehingga usaha pun terancam tumbang.
Mewabahnya Covid-19, yang oleh pemerintah di beberapa daerah direspons dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat ekonomi lesu, masyarakat pun menahan belanja. Bisnis startup, termasuk unicorn ikut tergerus.
Demi mempertahankan kelangsungan usaha, upaya efisiensi dilakukan, mulai dari memangkas biaya promosi, pemotongan gaji, hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Strategi ini dianggap lumrah. Sebab, "Komponen biaya terbesar startup yakni man power dan pemasaran," kata Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung, Senin (13/4).
Startup juga harus berhenti bakar uang karena investor pun semakin perhitungan. Firma riset dan kebijakan publik Startup Genome memperkirakan, pada dua bulan pertama 2020 saja, perusahaan rintisan kehilangan potensi investasi US$ 28 miliar atau sekitar Rp 463 triliun.
Firma yang berkantor pusat di San Francisco, California itu menilai, sikap wait and see para investor atas dampak sebaran virus corona akan membuat bisnis startup semakin lesu. Sebab, dalam laporan berjudul 'The COVID-19 and Startup Ecosystems Series' yang dirilis 1 April 2020, Startup Genome menyebut, rerata perusahaan rintisan mencari penggalangan dana dalam 12 hingga 18 bulan.
(Baca: Suntikan Dana Investor Diprediksi Anjlok 20%, Startup Harus Efisiensi)
CB Insights pun menyampaikan hal serupa. Platform data dan riset investasi ini memprediksi, pendanaan ke perusahaan swasta, termasuk startup di Asia, diprediksi turun 20% secara tahunan pada kuartal I 2020 akibat pandemi.
Ketua Asosiasi Modal Ventura Indonesia (Amvesindo) Jefri Sirait mengakui situasi yang serba sulit. “Tentu kami menunda investasi-investasi yang kami rasa perlu dipertimbangkan,” katanya kepada Katadata.co.id, akhir Maret lalu.
Berikut adalah bisnis startup yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19:
Sudah jatuh tertimpa tangga. Perusahaan-perusahaan startup terjepit antara investor yang tak lagi royal dan konsumen yang mengalami penurunan daya beli.
Gelombang PHK
Adanya larangan perjalanan dari dan ke berbagai negara membuat bisnis pariwisata seolah mati suri. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah kunjungan turis asing ke Indonesia pada Februari 2020 anjlok 885 ribu atau 28,9% dibandingkan periode sama tahun lalu. Tren ini bakal berlanjut selama pandemi belum tertangani.
Startup online travel agent (OTA) Bottom of Formseperti Traveloka dan Tiket.com pun merasakan akibatnya. Tiket.com mencatat, penjualan produk perjalanan internasional anjlok 52% selama Januari dan Februari. Masalahnya, berbeda dengan bisnis lain di mana konsumen hanya berhenti membeli, perusahaan-perusahaan OTA harus melayani pembatalan dari transaksi yang sudah terjadi.
Traveloka tidak menyebutkan penurunan transaksi akibat pandemi. Tapi, manajemen mengakui, pembatalan pesanan dan perubahan jadwal tiket pesawat dan hotel naik 10 kali lipat.
(Baca: Pembatalan Tiket di Traveloka & Tiket.com Naik Imbas Imbauan Tak Mudik)
Yang lebih memberatkan, permintaan refund ini tak hanya datang dari dalam negeri, melainkan dari negara-negara seperti Thailand dan Australia di mana Traveloka beroperasi. Artinya, perusahaan harus menanggung selisih kurs dari saat terjadinya transaksi hingga saat pembatalan pesanan.
Unicorn yang dipimpin oleh Ferry Unardi itu pun dikabarkan mulai melakukan Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK pada Maret 2020 lalu. “Bagian strategi dan analisis yang terkena. Sebanyak 50% engineer di India juga terdampak,” kata sumber yang mengetahui informasi tersebut kepada Katadata.co.id, akhir Maret lalu (31/3).
Nikkei menyebut, jumlah karyawan yang terkena PHK sekitar 100 orang atau 10% dari jumlah pegawai Traveloka. “Traveloka adalah perusahaan yang dikenal disiplin dalam keuangan, tetapi gelombang refund menghantam mereka dengan keras.”
Katadata.co.id sudah mengonfirmasi kabar tersebut kepada manajemen Traveloka. Namun, hingga artikel ini ditulis, pihak manajemen belum memberikan komentarnya perihal kabar program PHK tersebut.
Startup perhotelan asal India, OYO, juga mengalami masa sulit. Pada Januari lalu, perusahaan rintisan yang mendapat investasi dari SoftBank itu, telah melakukan PHK pada 7.000 lebih karyawan secara global. Gelombang PHK OYO terus berlanjut hingga pada Maret 2020, sekitar 5.000 karyawan dirumahkan.
(Baca: Terdampak Pandemi Corona, OYO Beri Cuti Ribuan Karyawan hingga 90 Hari)
OYO juga berencana memberlakukan unpaid leave antara 2-3 bulan bagi ribuan karyawan lainnya. Meski, OYO harus lebih dulu mengkaji hukum perburuhan lokal di berbagai negara untuk menerapkannya.
OYO terpaksa menelan pil pahit karena pendapatan turun 50-60%. Padahal perusahaan itu awalnya memproyeksi pendapatan hanya turun 10-15%. "Kami mengurangi biaya dan merampingkan operasi bisnis," kata CEO OYO Ritesh Agarwal dikutip dari Bloomberg pada Rabu (8/4).
Saat ini, OYO mengoperasikan sekitar 8 ribu hotel secara waralaba dan 800 hotel dengan model bisnis mandiri. Startup ini juga sudah hadir di lebih dari 80 negara, termasuk Amerika Serikat, Tiongkok, Eropa, Inggris, Malaysia, Timur Tengah, Jepang dan Indonesia.