Harga Tiket Pesawat Meroket, Okupansi Hotel Makin Tertekan
Kenaikan harga tiket pesawat berdampak pada sektor pariwisata, termasuk okupansi hotel. Pemerintah diminta untuk menambah jumlah maskapai penerbangan yang bisa beroperasi di dalam negeri sehingga harga tiket pesawat bisa ditekan.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Haryadi Sukamdani mengatakan, harga tiket pesawat yang tinggi pernah terjadi pada 2019. Tingginya harga tiket pesawat pada saat itu langsung menurunkan jumlah perjalanan wisatawan nusantara (wisnus) dari 303 juta menjadi sekitar 290 juta.
"Orang kalau mau pergi (wisata), kalau harga (tiket pesawat) mahal, mendingan nggak pergi," kata Haryadi kepada Katadata.co.id, Kamis (2/6).
Haryadi mengatakan, tingginya tiket pesawat akan memiliki dampak khusus bagi okupansi perhotelan. Berdasarkan pengalaman 2019, okupansi perhotelan tidak pernah mencapai lebih dari 60% karena harga tiket pesawat tinggi.
Berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf), okupansi terendah untuk hotel berbintang terjadi pada Mei 2019 atau di level 43,53%. Pada Mei 2020, okupansi hotel berbintang ada di posisi 53,86%.
Haryadi mengatakan, saat ini masyarakat juga memiliki kebiasaan baru dalam melakukan rapat atau acara pertemuan yaitu melalui virtual. Padahal, MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) merupakan salah satu pendapatan dari perhotelan. Hal itu diperburuk dengan harga tiket pesawat mahal yang menyebabkan orang semakin banyak beralih ke virtual.
"Orang-orang sudah terbiasa pakai Zoom saat pandemi, akhirnya perjalanan dinas bisa pakai Zoom," kata Haryadi.
Maka dari itu, Haryadi mendorong pemerintah agar menambah jumlah maskapai yang beroperasi di dalam negeri. Menurutnya, Lion Air Group kini menguasai lebih dari 60% pasar industri penerbangan di dalam negeri.