Ancam Produk UMKM, Kemendag Diminta Tegas Atur Project S Tiktok
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mulai mengkhawatirkan agresifitas berbagai platform social commerce yang terus memperbesar pangsa pasarnya di Indonesia.
Melalui berbagai fitur-fitur baru yang ditawarkan, penjualan melalui platform social commerce terus melambung tinggi.
Salah satu yang kini sedang jadi pusat perhatian menteri Teten adalah project S yang dirilis oleh Tiktok.
“Untuk menghadirkan keadilan bagi UMKM di pasar e-commerce, Kemendag perlu segera merevisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Aturan ini nampaknya macet di Kementerian Perdagangan," kata Teten, dalam keterangan tertulis, Rabu (12/7).
Melalui Project S dari Tiktok Shop, Tiktok diduga akan menggunakan data mengenai produk-produk yang laris di suatu negara untuk kemudian diproduksi di China.
Dengan teknologi dan sumber daya yang melimpah, Tiktok diyakini akan mampu mendorong produk-produk murah China membanjiri pasar dunia, termasuk Indonesia.
Selama ini pelaku usaha kecil dalam negeri sudah sangat menderita akibat adanya transaksi cross border yang dilakukan sejumlah platform e-commerce dan social commerce asing.
Contohnya adalah para perajin dan produsen hijab lokal yang makin tersingkir oleh hijab impor, terutama produksi Tiongkok yang harganya sangat murah.
Berdasarkan studi World Economic Forum (WEF), hingga tahun 2021 produksi hijab lokal hanya tinggal 25 persen, sementara 75 persen dari sekitar 1,02 miliar hijab yang dijualbelikan di Indonesia dikuasai oleh produk impor.
Padahal di tahun 2021 masyarakat Indonesia ditaksir menghabiskan uang untuk membeli hijab hingga USD 6,9 miliar.
Ekonom Bhima Yudhistira mendesak pemerintah untuk mengatur platform social commerce dengan tegas. Sebab, platform seperti Tiktok Shop saat ini menjadi social commerce yang liar karena berada di ruang kosong regulasi.
“Mau diatur sebagai e-commerce, dia dianggap media sosial. Mau diatur sebagai media sosial tapi dia punya e-commerce,” kata Bhima, Senin (10/7) lalu.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) itu mengatakan, social commerce semestinya tetap didefinisikan sebagai pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau sebagai e-commerce yang telah diatur oleh Permendag.