Probosutedjo, Kontroversi Saudara Soeharto Hingga Bisnis Era Orde Baru

Yuliawati
Oleh Yuliawati
26 Maret 2018, 13:51
Probosutedjo
ANTARA/Hermanus Prihatna
Adik Soeharto, Probosutedjo, saat membuka jendela ruangan tempat tinggalnya di Rumah Singggah, LP Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Minggu (9/3/2008).

Adik Presiden kedua RI Soeharto, Probosutedjo, meninggal dunia pada Senin, 26 Maret 2018 pukul 07.10 WIB di RS Cipto Mangunkusomo, Jakarta. Rencananya, Probosutedjo akan dimakamkan di Kemusuk, Yogyakarta.

Probosutedjo merupakan salah seorang keluarga Cendana yang menjadi pengusaha sukses di era Orde Baru. Namun, Probosutedjo enggan kesuksesannya dikaitkan dengan kekuasaan yang dimiliki kakaknya, Soeharto.

"Banyak orang menyangka saya lincah berbisnis karena Mas Harto naik ke kursi presiden. Padahal sebelum G30S 1965, saya sudah cukup mapan jadi pengusaha. Semua bisnis saya dimulai dengan keringat dan upaya saya sendiri," kata Probosutedjo dalam buku Saya dan Mas Harto: Memoar Romantika Probosutedjo karangan Alberthiene Endah pada 2010.

Di sisi lain, Probosutedjo merasa terganggu dengan desas-desus yang menyebutkan dia sebagai saudara tiri Soeharto. Probosutedjo yang lahir di Bantul 1 Mei 1930, dalam buku memoarnya menegaskan dirinya merupakan saudara kandung.

"Banyak orang menyangsikan status saya sebagai adik Mas Harto. Berbagai suara menyebutkan saya hanya sudara jauh. Atau, bahkan ada yang mengatakan saya tak lebih dari saudara tiri yang tak ada hubungan sedarah sama sekali. Malah ada juga yang menduga, jangan-jangan saya malah bukan siapa-siapanya Mas Harto," kata Probosutedjo. 

(Baca jugaPelajaran Bangkit dari Keterpurukan Bisnis dari Sosok Hari Darmawan)

Probosutedjo memaparkan, dia dan Soeharto merupakan saudara sekandung yang lahir dari rahim ibu yang sama yakni Sukirah. Namun, keduanya berbeda ayah. Saat Soeharto masih berumur 40 hari, Sukirah menghadapi talak cerai dari suaminya Kertosudiro. Kemudian Sukirah menikah lagi dengan Atmoprawiro dan memiliki lima anak lainnya, di antaranya Probosutedjo.

Probosutedjo mengenali Soeharto sebagai kakaknya pada 1936 saat dia berusia enam tahun. Setelah remaja, saat usianya 15 tahun, Probo memilih ikut dengan Soeharto yang saat itu menjadi seorang tentara. Probo menceritakan, mereka pernah merasakan bahu membahu menghadapi Belanda di masa perjuangan kemerdekaan RI.

Dia selalu bangga dengan hubungan kekeluargaannya dengan Soeharto. "Satu hal yang membedakan saya dengan banyak orang yang merasa dekat dengan Mas Harto adalah karena saya adik kandungnya," kata Probosutedjo.

Bermula dari bisnis supplier

Pada mulanya Probosutedjo memilih karir sebagai guru di Taman Siswa, namun kelamaan dia beralih menjadi pebisnis. Apalagi dia berkaca pada kesuksesan karir Soeharto di militer. "Berat sebetulnya meninggalkan dunia pendidikan. Tapi realitas menuntut saya untuk berjuang mencari penghasilan lebih," katanya.

Probo memulai bisnis bekerja sama dengan pengusaha asal Medan, Ng Co Mo. Keduanya mendirikan perusahaan yang memasok kebutuhan pemerintah di Jakarta sekitar tahun 1963. Ketika itu, Soeharto merupakan Panglima Komando Mandala dengan pangkat Brigadir Jenderal.

"Bisnis supplier saat itu memang sangat hidup. Departemen-departemen membutuhkan banyak pasokan barang, dan mereka butuh pengusaha-pengusaha supplier seperti kami," katanya.

Ketika itu, masih jarang produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pemerintah, sehingga Probosutedjo harus memasok kebutuhan dengan memberi barang-barang dari Hongkong.

(Baca juga: In Memoriam: Mengenang Daoed Joesoef, “Dia dan Aku”)

Salah satu proyek yang berhasil didapatkan Probosutedjo yakni menjadi pemasok enam jeep mobil Toyota untuk Departemen Sosial (sekarang Kementerian Sosial) pada 1964. Probo bercerita saat itu harga tiap unit jeep Toyota sebesar 12 juta dengan masa indent selama tiga bulan. Dengan mendapat pesanan enam mobil, dia memegang Rp 72 juta, proyek pertama terbesar yang dia peroleh.

"Bisa dibayangkan bagaimana rasanya saya memegang uang sebanyak Rp 72 juta rupiah, saat gaji pegawai rata-rata tidak sampai Rp 50," katanya. "Gemetar sekali saat uang sebanyak itu ada di tangan saya. Ajaib betul bisnis!"

Probo bercerita dia tak langsung menyerahkan enam pesanan ketika mobil telah tiba di Jakarta. Sebanyak empat mobil dia jual terlebih dahulu dengan harga Rp 22 juta per unit ke pihak lain, baru kemudian dia memesan lagi untuk kebutuhan Depsos. Dari praktek putar uang ini, dia mendapat keuntungan Rp 44 juta. "Jumlah yang sangat fantastis untuk ukuran 1964!" kata dia.

Probo mengatakan, selain sibuk mencari berbagai proyek pemerintahan, dia juga menjual hasil bumi seperti kopi, cengkeh, dan rempah-rempah dari Sumatera ke Jawa. Selama menjalankan bisnisnya itu, mengklaim tak pernah diketahui Soeharto. Dia pun membantah kesuksesannya diperoleh karena Soeharto sebagai Presiden.

Selain berbisnis, selama masa Orde Baru, Probo aktif dalam Partai Golkar, yang menjadi mesin politik kekuasaan Soeharto. Setelah Soeharto lengser, dia sempat mendirikan Partai Nasional Indonesia Front Marhaenis yang pernah mengikuti pemilihan umum pada 1999, dan memperoleh satu kursi di parlemen.

Museum HM Soeharto
Museum HM Soeharto yang didirikan Probosutedjo pada 2013. (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Terjerat korupsi  dan suap

Probosutedjo mendapat batu sandungan setelah beberapa tahun Soeharto lengser. Dia diseret ke meja hijau atas kasus korupsi dana reboisasi hutan tanaman industri senilai Rp 100,931 miliar pada 2003. Pemilik PT Menara Hutan Buana dan PT Wonogung Jinawi tersebut divonis empat tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Probosutedjo yang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, mendapat keringanan hukuman menjadi dua tahun. Namun, dia tak puas dan mengajukan kasasi. Saat proses pengajuan kasasi itu, dia tersangkut kasus suap hakim Mahkamah Agung sebesar Rp 6 miliar. Kasus suap ini berhasil terbongkar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Satu bulan setelah kasus suap hakim agung terungkap, pada November 2005, Mahkamah Agung memutuskan menolak kasasi Probosutedjo dan menguatkan putusan PN dengan vonis pidana empat tahun penjara dan wajib membayar uang pengganti korupsi Rp 100,9 miliar. Probosutedjo pun menjalani hukuman di LP Sukamiskin, Bandung.

Belakangan, Probo sempat mengklaim membantu KPK dalam membongkar kasus suap hakim MA. Dia menyatakan KPK meminjam uang Rp 5 miliar untuk menjebak oknum pegawai MA dalam operasi tangkap tangan dan uang tersebut belum dikembalikan KPK. Hingga saat ini, KPK membantah tudingan Probosutedjo.

Probo bebas bersyarat dari penjara pada 12 Maret 2008 setelah menjalani dua pertiga dari masa hukumannya. Setelah keluar dari penjara, dia menghabiskan waktunya dengan kembali berbisnis. Probosutedjo terjun ke bisnis padi organik dengan menjalin kemitraan dengan para petani melalui PT Tedja Kencana Tani Makmur, di Karawang, Jawa Barat.

Probosutedjo juga menyempatkan diri mengurus pendirian museum memorial Soeharto. Probosutedjo meresmikan museum pada 8 Juni 2013, bertepatan dengan hari lahir kakaknya. Museum dibangun di atas lahan seluas 3.620 meter persegi di Desa Argomulyo, Bantul, Yogyakarta. 

Menjelang masa akhir hidupnya, Probosutedjo masih dipandang oleh para tokoh politik. Pada masa kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful menyempatkan diri sowan ke Probosutedjo untuk mendapatkan dukungannya.

    Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

    Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

    Ikuti kami

    Artikel Terkait

    Video Pilihan
    Loading...