Harga Batu Bara Melesat Efek Perang, Pengusaha Dilema Setor DMO
Produsen batu bara merasa berat dengan kebijakan penetapan harga Domestic Market Obligation (DMO) yang dikunci di level US$ 70 per ton. Padahal, harga batu bara terus melonjak seiring dampak perang Rusia dan Ukraina. Pada Jumat (4/3) di pasar ICE Newcastle Australia telah tembus di level US$ 418 per ton.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan kondisi tersebut membuat produsen tambang dilematis. Meski begitu, pengusaha akan tetap berkomitmen dalam memenuhi kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik PLN.
APBI beranggotakan sekitar 70-an perusahaan yang kontribusi pada sekitar 70% produksi nasional. "Melihat disparitas harga ini pilihan dilematis bagi anggota kami. Namun, sejak awal komit melaksanakan kontrak penjualan batu bara ke PLN, pemerintah juga sudah paham," kata dia dalam webinar Market Review yang diadakan IDX Channel, Senin (7/3).
Selain harga yang sudah dipatok US$ 70 per ton, dalam aturan DMO ini perusahaan tambang juga wajib memasok batu bara sebesar 25% dari target produksi tahun berjalan. Namun demikian, Hendra menyadari dalam tiga tahun terakhir ini, pemenuhan kewajiban 25% DMO sedikit meleset.
Setidaknya, realisasi kuota DMO yang dapat dipenuhi perusahaan yakni di angka 22% hingga 23%. Hal tersebut terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya seperti faktor demand yang di bawah target.
"Kami sangat lega mendengar pernyataan PLN sejauh ini ketersediaan pasokan PLN dalam batas aman. Menyikapi situasi ini bisa disimpulkan perusahaan-perusahaan mematuhi pasokan ke PLN dan juga ada perbaikan sistem PLN untuk mendata inventory PLN," katanya.
Sebelumnya, pengusaha batu bara berharap harga DMO dapat mengikuti harga batu bara. Pasalnya disparitas antara harga batu bara DMO dan khusus ekspor cukup jauh.
"Kami tidak minta pemerintah untuk menaikan harga karena ini kan domainnya pemerintah. Cuma kalau pengusaha ditanya semuanya pasti maunya harga pasar," kata Hendra beberapa waktu lalu.
Pemikiran tersebut terlintas bukan hanya ketika harga batu bara sedang tinggi-tingginya saja. Meski begitu Hendra paham pemerintah mempunyai pertimbangan lain.
Perang antara Rusia dan Ukraina telah berdampak pada kenaikan harga batu bara. Bahkan harga emas hitam ini sempat mencapai rekor tertinggi yakni US$ 446 per ton pada Rabu (2/3). Harga batu bara pada Kamis (3/3) di pasar ICE Newcastle Australia telah turun US$ 370 per ton. Angka ini masih jauh di atas rekor harga pada 2021 imbas krisis energi dunia yang hanya di level US$ 269,5 per ton.
Permintaan terhadap batu bara diperkirakan meningkat karena kebutuhan gas Eropa sebesar 40% selama ini dipasok oleh Rusia. Kondisi ini lantas membuat wacana untuk menghidupkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara menjadi suatu pilihan. Sama halnya krisis energi yang sempat terjadi pada Inggris dan Cina beberapa waktu lalu ketika harga gas melambung tinggi.