Utang Pemerintah Rp 6.445 T pada Maret, Rasio terhadap PDB Jadi 41,64%
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah per akhir Maret 2021 mencapai Rp 6.445,07 triliun. Dengan demikian, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto mencapai 41,64%.
Realisasi utang pemerintah melonjak 24,12% atau bertambah Rp 1,252,51 triliun jika dibandingkan Maret 2020 yang sebesar Rp 5.192,56 triliun. "Peningkatan disebabkan kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam fase pemulihan akibat penurunan ekonomi yang terjadi di masa pandemi Covid-19," bunyi laporan APBN KiTa edisi April 2021 yang dirilis Senin (26/4).
Utang pemerintah didominasi surat berharga negara (SBN) dengan porsi 86,63% atau Rp 5.583,16 triliun. Secara perinci, SBN terdiri dari domestik Rp 4.311,57 triliun dan valas Rp 1.271,59 triliun.
SBN domestik meliputi surat utang negara (SUN) Rp 3.510,47 triliun dan surat berharga syariah negara (SBSN) Rp 801,1 triliun. Sementara SBN valas berbentuk surat utang Rp 1.024,59 triliun dan SBSN Rp 247 triliun.
Sedangkan utang dalam bentuk pinjaman tercatat Rp 861,91 triliun atau 13,37%. Pinjaman berasal dari dalam negeri Rp 12,52 triliun dan luar negeri Rp 849,38 triliun. Lebih rinci, pinjaman luar negeri meliputi bilateral Rp 323,144 triliun, multilateral Rp 482,02 triliun, dan bank komersial Rp 44,23 triliun.
Menurut buku APBN KiTa, pemerintah senantiasa mengupayakan kemandirian pembiayaan yang ditunjukkan dengan komposisi utang Pemerintah Pusat yang semakin didominasi SBN Domestik. Hingga akhir Maret 2021 porsi SBN domestik mencapai 66,9% dari total komposisi utang.
Dari sisi mata uang, utang Pemerintah Pusat semakin didominasi utang dalam rupiah, yaitu mencapai 67,09% dari total komposisi utang pada akhir Maret 2021. Adapun peningkatan utang pemerintah juga dialami oleh hampir seluruh negara di dunia, tak hanya Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan belanja yang cukup besar terutama untuk memberikan stimulus pemulihan ekonomi dan penyediaan program vaksinasi gratis.
Kebijakan pelebaran defisit dan rasio utang Pemerintah Indonesia di masa pandemi merupakan salah satu yang terkecil dibandingkan beberapa negara ASEAN dan G20. Namun demikian, peningkatan pembiayaan tetap dilakukan menurut koridor yang berlaku.
Lembaga pemeringkat Rating and Investment Information, Inc.(R&I) dan Standard and Poor’s (S&P) pada Kamis (22/4) mempertahankan peringkat kredit Indonesia. Indonesia dinilai mampu menjaga kondisi perekonomian tetap stabil di tengah tekanan kondisi eksternal dan fiskal akibat Covid-19.
S&P optimistis tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di atas rata-rata negara peers. Potensi ini didorong reformasi struktural melalui pengesahan Undang-undang atau UU Cipta Kerja.
Kendati demikian, lembaga pemeringkat tersebut memberikan catatan bahwa tantangan yang dihadapi Indonesia selanjutnya yakni mengembalikan rasio defisit fiskal ke 3% pada 2023. S&P memproyeksikan konsolidasi fiskal berjalan secara gradual. Defisit fiskal akan menyempit tahun ini menjadi 5,7% dan 4,2% pada 2022.
Sedangkan R&I menilai pemerintah Indonesia sanggup melakukan konsolidasi fiskal melalui peningkatan basis pajak. Kebijakan BI membeli SBN di pasar primer dan menjadi standby buyer tahun ini dinilai tidak akan memengaruhi peringkat kredit, selama dilakukan secara temporer.