BI Pantau Bisnis Properti RI Tak Akan Bubble seperti Krisis Evergrande

Abdul Azis Said
20 Oktober 2021, 06:05
evergrande, bank indonesia, properti
ANTARA FOTO/ Reno Esnir/rwa.
Seorang anak bermain di salah satu kawasan apartemen, Jakarta, Jumat (28/5/2021).

Bank Indonesia menilai krisis utang perusahaan raksasa Cina Evergande tak akan berdampak terhadap industri keuangan dan properti di Indonesia. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebut kondisi properti di Indonesia masih jauh dari kondisi bubble atau gelembung ekonomi yang membesar dalam waktu singkat.

"Penilaian kami menunjukkan kondisi properti di Indonesia masih jauh dari apa yang kemudian disebut bubble," kata Perry dalam dalam konferensi pers Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur BI edisi oktober, Selasa (19/10).

Saat ini pasokan properti masih lebih tinggi dibandingkan permintaan. Meski begitu, permintaan properti mulai naik yang terlihat dari penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) pada September yang tumbuh 8,67%. Pertumbuhan ini bahkan lebih tinggi dari penyaluran kredit secara keseluruhan yang naik 2,21%.

Perry menyebut kekhwatiran terhadap krisis Evergrande memberi sentimen negatif ke pasar keuangan negara berkembang termasuk Indonesia hanya sementara. Hal ini terlihat dari data aliran investasi portofolio  sepanjang kuartal III 2021, mencatat arus dana masuk bersih atau net inflow US$ 1,3 miliar.

Aliran dana asing tersebut terus berlanjut memasuki awal kuartal IV. Sepanjang tanggal 1 Oktober 2021 hingga 15 Oktober 2021, tercatat net inflow sebesar US$ 200 juta di pasar keuangan domestik.

"Ini membuktikan bahwa kepercayan investor asing kepada saham maupun SBN masih tetap tinggi," kata Perry.



Evergande yang merupakan pengembang properti terbesar kedua di Cina sejak bulan lalu terus menuai sorotan. Perusahaan yang terbelit utang lebih dari US$ 300 miliar, berulang kali gagal melunasi pembayaran kupon surat utang yang sudah diterbitkan.

Krisis Evergrande tampaknya mulai mengalami spill over atau merembet ke industri properti. Sejumlah pengembang Cina dilaporkan juga gagal membayar kewajibannya. Laporan CNBC International menyebutkan, China Sinic Holding diketahui gagal memenuhi kewajiban atas obligasi luar negerinya senilai US$ 250 juta yang jatuh tempo pada Senin (18/10).

Sebelumnya ada juga China Properties Group yang melewatkan pembayaran tagihannya senilai US$ 226 juta pada 15 Oktober lalu. Selain itu, ada perusahaan Fantasia Holdings juga gagal melunasi kupon obligasi senilai US$ 206 juta pada awal bulan ini.

Pukulan berat pada sektor properti ini ikut mendorong lembaga pemeringkatan S&P Global Ratings menurunkan peringkat sejumlah perusahaan. China Aoyuan yang merupakan salah satu pengembang besar di Provinsi Guangdong. Korporasi dilaporkan memiliki jatuh tempo obligasi yang cukup besar pada tahun depan.

S&P sebelumnya juga telah menurunkan peringkat Greenland Holding, pengembang asal Cina yang juga berekpansi hingga New York, London dan Sydney. Perusahaan diperkirakan akan menghadapi akses penadanaan yang terganggu, harga obligasi Greenlad juga telah jatuh seiring memburuknya sentimen pasar, prospek perusahaan menghasilan uang yang makin melambat.

Selain itu, pada pekan yang sama Fitch juga menurunkan peringkat Modern Land. Pengembang asal Beijing tersebut diketahui telah menunda pembayaran obligasi luar negerinya senilai US$ 250 juta selama tiga bulan terakhir.

Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...