Tiga Bulan Beruntun Turun, Cadangan Devisa Susut Jadi US$ 135,6 Miliar
Bank Indonesia mencatat cadangan devisa RI kembali menyusut pada akhir Mei menjadi US$ 135,6 miliar atau Rp 1.961 triliun (kurs Rp 14.468/US$). Nilai ini lebih rendah US$ 100 juta dari bulan sebelumnya. Meski turun, BI menilai posisi tersebut masih tetap tinggi dan relatif stabil.
"Perkembangan posisi cadangan devisa pada Mei 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerimaan devisa migas, pajak dan jasa, serta kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam keterangan tertulisnya, Rabu (8/6).
Erwin mengatakan posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Level ini juga berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor. Meski turun, cadangan devisa Mei disebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
BI memandang cadangan devisa ke depannya masih akan memadai. Hal ini didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam mendorong pemulihan ekonomi.
Penurunan cadangan devisa ini terjadi tiga bulan beruntun. Meski demikian, penurunannya jauh lebih kecil dibandingkan Maret yang menyusut US$ 2,3 miliar maupun April sebesar US$ 3,4 miliar. Penurunan di dua bulan sebelumnya terutama karena adanya kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan cadangan devisa pada akhir tahun ini akan berada di rentang US$ 130 miliar- US$ 140 miliar. Ini berarti akan lebih rendah dibandingkan akhir tahun lalu di US$ 144,9 miliar.
Penurunan cadangan devisa dipengaruhi ketidakpastian ekonomi global. "Kami masih memperkirakan surplus barang pada neraca transaksi berjalan tahun ini cenderung menyusut karena impor akan mengikuti ekspor seiring dengan percepatan pemulihan ekonomi domestik," kata Faisal dalam risetnya.
Ia mengatakan, neraca transkasi berjalan pada tahun ini diperkirakan kembali surplus tapi lebih kecil dari tahun lalu yakni 0,03% dari PDB.
Neraca keuangan 2022 kemungkinan besar akan menghadapi beberapa risiko penurunan yang akan menganggu potensi aliran masuk modal asing selama periode pemulihan ekonomi. Faisal menyebut, risikonya antara lain gangguan rantai pasokan global yang semakin parah dan tekanan inflasi akibat perang Rusia dan Ukraina. Perang juga berdampak terhadap normalisasi moneter global yang lebih cepat dan hawkish.