Beda Data dengan Sri Mulyani, Mahfud Seret Eks Dirjen BC Heru Pambudi
Menko Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menyebut sebanyak 15 entitas diduga terlibat pencucian uang dengan transaksi Rp 189 triliun. Mahfud menduga Menteri Keuangan Sri Mulyani tak mengetahui data itu sekalipun laporannya sudah diterima langsung oleh Dirjen Bea dan Cukai saat itu Heru Pambudi dan Irjen Kemenkeu Sumiyati.
Dari rangkaian transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun yang dikaitkan dengan Kementerian Keuangan, transaksi Rp 189 triliun oleh 15 entitas merupakan salah satu temuan paling signifikan. Mafud mengatakan temuan transaksi Rp 189 triliun itu pernah dikirimkan ke Kemenkeu sebanyak dua kali, pada 2017 dan 2020.
Pada 13 November 2017, PPATK mengirimkan laporan transaksi mencurigakan 15 entitas itu untuk periode 2014-2016. Laporan yang diserahkan kepada pejabat Kemenkeu, ketika itu angkanya bukan Rp 189 triliun, melainkan Rp 180 triliun.
"Ini yang serahkan ketuanya (PPATK) Badaruddin, pak Dian Ediana (Wakil Ketua PPATK), kemudian Heru Pambudi dari Dirjen Bea Cukai (2015-2021), Sumiyati Irjennya (2017-2021), lalu Rahman Dirsa dari Itjen, Widiyanto dari Bea Cukai," Kata Maut dalam rapat dengan Komisi III, Rabu (30/3) malam.
Namun, laporan saat itu kata dia belum selesai alias tak pernah ditangani. Setelah itu, PPATK kembali melakukan pemeriksaan untuk transaksi 2017-2019 karena perbankan ternyata masih mengendus transaksi mencurigakan dari 15 entitas tersebut. Pemeriksaan kedua itulah yang kemudian menghasilkan temuan transaksi mencurigakan Rp 189 triliun.
Surat pemeriksaan kedua oleh PPATK itu, kata Mahfud, sudah dikirimkan pada 2020 tetapi tidak sampai juga ke meja menteri dan wakil menteri. "Lalu bilang enggak ada (suratnya) di depan Wamenkeu. Kita bilang 'loh ini ada', baru dicari ketemu itu yang dipakai dasar menjelaskan oleh bu Menkeu (terkait Rp 189 triliun)," kata Mahfud.
Karena itu, Mahfud tidak heran jika Sri Mulyani menjelaskan kronologi terkait transaksi mencurigakan itu di depan Komisi XI pada awal pekan ini jauh dari fakta. Ia menduga anak buah Sri Mulyani tak menyampaikan informasi tersebut sehingga disebutnya 'ditutup akses yang sebenarnya dari bawah'.
Mahfud mengatakan 15 entitas yang dipantau PPATK itu melakukan manipulasi laporan impor. Perusahaan mengimpor emas batangan yang mahal, tetapi dalam pemberitahuan impor mengaku mengimpor emas mentah. Namun setelah ditelusuri diketahui perusahaan memanipulasi alamat usahanya.
Karena terkait impor, maka laporan PPATK itu diberikan kepada Ditjen Bea Cukai. Namun, Mahfud menyebut pemeriksaan oleh Kemenkeu justru dialihkan, yakni pemeriksaan dari sisi kepatuhan pajaknya, alih-alih memeriksa terkait kepabeanan yang telah merugikan miliaran. Mahfud menyebut dari pemeriksaan terakhir, persoalan menyangkut kepabenanan dari 15 entitas itu belum diberi tindakan.
"Karena itu, bukan Sri Mulyani menipu, dia diberi data itu (Rp 189 triliun) data terkait pajak, padahal ini data bea cukai yang penyelundupan emas. jadi tidak tahu siapa yang bohong, tapi itulah faktanya," kata Mahfud.
Dalam keterangan Sri Mulyani pekan lalu di kantor Mahfud, transaksi Rp 189 triliun itu sempat diperiksa dari sisi kepabeanan dan cukai, tapi hasilnya nihil. Karena itu kemudian surat itu diteruskan ke Ditjen Pajak dan ditemukan transaksi yang beda antara temuan PPATK dengan laporan SPT pajak.
"Jadi ini kejadian (laporan) 2020, sudah ada follow up, bea cukai yang menerima data langsung dari PPATK melakukan penelitian bulan Mei mendapatkan surat, September dilakukan pembahasan bersama PPATK. Pada saat yang sama bea cukai mengatakan tidak ditemukan di bea cukai adanya kecurigaan, maka pajak masuk," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di kantor Mahfud 20 Maret lalu.