Perpres Kereta Cepat Terbit, Ada Tiga Opsi Sumber Pendanaan Non-APBN
KATADATA - Megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung akan segera terwujud. Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung, bertanggal 6 Oktober 2015.
Dalam Perpres itu, pemerintah menugaskan konsorsium badan usaha milik negara (BUMN) yang dipimpin oleh PT Wijaya Karya Tbk (Wika) untuk menggarap megaproyek tersebut. Selain Wika, anggota konsorsium BUMN ini adalah PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Jasa Marga Tbk dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII. Pasal 1 ayat 3 dalam prespres tersebut menyatakan, “Konsorsium BUMN yang dimaksud dapat diwujudkan dalam bentuk perusahaan patungan.”
Terkait pendanaan untuk pengadaan dan pembangunan jaringan kereta cepat Jakarta – Bandung, beleid itu membatasi pada tiga opsi pembiayaan. Pertama, penerbitan obligasi oleh konsorsium BUMN atau perusahaan patungan. Kedua, pinjaman dari lembaga keuangan, baik luar negeri ataupun multilateral. Ketiga, pendanaan lain sesuai ketentuan perundang-undangan.
Dalam Pasal 4 ayat 2, juga menegaskan bahwa pembiayaan proyek itu tidak menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tidak mendapatkan jaminan pemerintah. Pasal ini setidaknya menutup kemungkinan perusahaan BUMN mendapatkan dana Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk pendanaan proyek kereta cepat itu.
Masalah pendanaan megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini memang menjadi sorotan. Dengan nilai proyek sebesar US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 77 triliun, sebanyak 75 persen berasal dari pinjaman China Development Bank. Pinjaman itu berjangka waktu 40 tahun dengan bunga dua persen per tahun dan masa tenggang 10 tahun.
Adapun 25 persen dari nilai proyek yang sebesar US$ 1,37 miliar atau sekitar Rp 19,25 triliun ditanggung oleh setoran modal perusahaan patungan antara China dan konsorsium BUMN. Dengan porsi 60 persen saham di perusahaan patungan itu, konsorsium BUMN harus menyuntikkan modal sebesar US$ 825 juta atau setara Rp 11,55 triliun.
(Baca: Tiga BUMN Penggarap Kereta Cepat Mendapat Modal Rp 5,2 T)
Besarnya kebutuhan dana yang harus ditanggung empat BUMN tersebut memantik spekulasi penggunaan PMN untuk membiayai megaproyek tersebut. Apalagi, Senin kemarin (12/10), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui PMN tahun 2016 senilai Rp 5,2 triliun dikucurkan kepada Wika, Jasa Marga dan PTPN VIII.
Namun, Direktur Utama Wika Bintang Perbowo membantah dana PMN sebesar Rp 4 triliun yang diperoleh Wika tahun depan akan dipakai untuk membiayai proyek kereta cepat. Ia menegaskan pendanaan proyek itu dari sumber-sumber non-APBN, seperti obligasi dan pinjaman bank.
"Obligasi bisa, pinjaman bank juga (bisa). Tapi nanti saja saya jelaskan," katanya. Pasalnya, proses negosiasi persyaratan proyek kereta cepat ini baru rampung Kamis mendatang (15/10).
(Baca: Wika Klaim Proyek Kereta Cepat Lebih Murah Pakai Komponen Lokal)
Di sisi lain, Pasal 6 dalam perpres anyar tersebut menegaskan, pengadaan barang atau jasa untuk pembangunan megaproyek kereta cepat itu harus memaksimalkan kandungan lokal.
Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan Wika Suradi menjelaskan, saat ini konsorsium BUMN masih bernegosiasi dengan konsorsium Cina untuk detail biaya proyek mercusuar tersebut. Salah satu yang sedang diperjuangkan adalah pemakaian komponen lokal untuk menekan biaya hingga di bawah US$ 5,5 miliar. "Ini belum final. Kalau mau lebih murah, kami harus masukkan mayoritas komponen lokal," katanya kepada Katadata. Sebagai contoh, pengadaan beton dapat menggunakan produk Wika Beton, atau baja dari PT Krakatau Steel.