Ekonomi Indonesia Tahun Depan Terancam Defisit Kembar
KATADATA - Para ekonom memperkirakan, Indonesia akan menghadapi masalah penurunan kualitas fundamental perekonomian pada tahun depan. Penurunan kualitas itu ditandai oleh twin deficit alias defisit kembar, yaitu semakin melebarnya defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) dan defisit anggaran.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, defisit neraca dagang pada November lalu sebesar US$ 346,7 juta merupakan defisit dagang pertama kali sepanjang tahun ini atau dalam 12 bulan terakhir. Penyebabnya adalah impor terus merangkak naik sementara angka ekspor kian melemah. Di saat harga komoditas masih rendah, yang merupakan andalan utama ekspor Indonesia, impor barang-barang konsumsi malah meningkat menjelang akhir tahun.
David memperkirakan, tren tersebut akan berlanjut sampai tahun depan. Pasalnya, impor bahan baku dan barang modal juga akan naik seiring menggeliatnya pembangunan infrastruktur. Alhasil, defisit neraca dagang kemungkinan besar masih terjadi pada 2016.
(Baca: Pertama Sepanjang 2015, Neraca Dagang November Defisit)
Dampak lanjutannya adalah, defisit transaksi berjalan juga semakin melebar. “Defisit transaksi berjalan tahun depan akan mencapai 2,5 persen sampai 3 persen dari PDB (produk domestik bruto),” kata David kepada Katadata, Rabu (16/12).
Defisit transaksi berjalan pada kuartal III-2015 sebesar US$ 4,01 miliar atau setara 1,86 persen dari PDB. Pencapaian ini lebih baik dari periode sama tahun lalu yang sebesar US$ 7,04 miliar atau 3,02 persen dari PDB. Begitu pula lebih baik dibandingkan defisit pada kuartal II-2015 yang sebesar US$ 4,25 miliar atau setara 1,95 persen PDB.
(Baca: Asing Jual Saham dan SUN, Defisit Neraca Pembayaran Terendah Sejak Awal 2013)
Kebijakan pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur juga akan menimbulkan defisit anggaran yang lebih besar tahun depan. Apalagi, pemerintah memproyeksikan penerimaan pajak tahun depan akan lebih tinggi dari tahun ini. Kenyataannya, realisasi penerimaan pajak hingga 27 November lalu baru mencapai Rp 806 triliun atau 64,75 persen dari target penerimaan tahun ini. Hingga akhir tahun ini, pemerintah masih optimistis penerimaan pajak mencapai 85 persen hingga 87 persen dari target.
Alhasil, defisit anggaran tahun ini diperkirakan akan naik menjadi minimal 2,7 persen dari PDB. Kondisi tersebut kemungkinan bakal kembali terulang tahun depan. "Ada peluang defisit anggaran besar tapi wajar ketika ekonomi lesu kita perlu stimulus. Asal prudent di bawah 3 persen,” kata David.
Dalam pernyataan tertulisnya, Ekonom ANZ Research Glenn Maguire menyebut Indonesia tengah berada dalam “resesi perdagangan” karena defisit dagang November lalu akan terus berlanjut hingga tahun depan. Ekspor Indonesia tetap melemah karena perekonomian Cina tahun depan diperkirakan masih melambat. Padahal, Cina merupakan mitra dagang utama Indonesia. Di sisi lain, impor barang modal akan meningkat karena pemerintah menggenjot proyek infrastruktur. Ia meny
Berdasarkan kondisi tersebut, Glenn memperkirakan defisit transaksi berjalan akan melebar dari sekitar 2 persen pada akhir 2015 menjadi sekitar 2,6 persen hingga 2,7 persen dari PDB pada tahun depan. Masalah bakal semakin besar karena defisit anggaran 2016 juga membengkak. "Memburuknya defisit kembar ini mungkin menjadi perhatian di 2016,” imbuhnya.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, perlambatan ekonomi Cina dan kenaikan suku bunga Amerika Serikat (Fed Rate) secara gradual menjadi tantangan utama ekonomi global tahun depan. Dia pun memperkirakan defisit transaksi berjalan meningkat jadi 2,7 persen di 2016.
(Baca: Neraca Dagang Terancam Defisit Tahun Depan)
Meski menghadapi defisit kembar, David melihat sisi positif dari peningkatan impor untuk kegiatan produktif. Pasalnya, di tengah kondisi perlambatan ekonomi, pemerintah perlu memacu kegiatan-kegiatan usaha produktif. Adapun untuk menekan defisit dagang dan defisit anggaran, pemerintah perlu mendorong masuknya investasi langsung dan menggenjot penerimaan pajak.
David melihat, seandainya Undang-Undang Pengampunan Pajak alias Tax Amnesty bisa diberlakukan awal tahun depan maka akan berdampak positif terhadap penerimaan negara. Penerimaan pajak tahun depan bisa meningkat 15 persebn dari realisasi pajak tahun ini. Di sisi lain, pemerintah harus terus mengeluarkan paket kebijakan ekonomi untuk menarik masuknya investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI).