Kementerian ESDM Ingin Pengembangan Blok Masela di Laut
KATADATA - Pemerintah hingga kini masih belum menentukan skema pengembangan Blok Masela. Namun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menginginkan agar pengolahan gas dari blok minyak dan gas bumi (migas) tersebut dilakukan di laut menggunakan fasilitas kilang terapung (FLNG). Untuk itu, pemerintah sedang menyiapkan pembangunan fasilitas produksi di Laut Arafura.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, pengolahan gas di laut ini bertujuan memisahkan gas dan kondensat yang keluar dari perut bumi. “Akan dibangun juga fasilitas produksi untuk memisahkan fluida hydrokarbon yang keluar dari sumur. Gas dan kondensat harus dipisahkan di laut dan dibangun fasilitasnya di laut,” katanya kepada Katadata, Senin (11/1).
Selain membangun fasilitas pengolahan di laut, pemerintah juga sedang menyiapkan lahan di darat. Luasnya kurang lebih 40 hektare (ha). Lahan ini disiapkan untuk industri-industri penunjang kegiatan Blok Masela. Industri ini juga diharapkan dapat memanfaatkan gas dari blok tersebut. Dengan begitu, menurut Djoko, kehadiran megaproyek Masela dapat turut menumbuhkan industri di sekitar kawasan tersebut. Alhasil, masyarakat di wilayah itu dapat juga merasakan manfaatnya.
(Baca : Pemerintah Siapkan Badan Otoritas Kawasan Industri di Blok Masela)
Namun, skema pengembangan masyarakat dan wilayah tersebut masih dalam tahap pengkajian. Dalam mengkaji hal tersebut, pemerintah juga akan melibatkan perguruan tinggi setempat.
Yang jelas, pemerintah tidak ingin apa yang terjadi dengan pengelolaan gas di Aceh melalui PT Arun Natural Gas Liquefaction (Arun NGL), kembali terulang di Blok Masela. Sejak 2014, Arun NGL sudah tidak lagi memproduksi gas alam cair (LNG) karena kehabisan sumber gas. Akibatnya, perusahaan itu kemudian banting setir dengan melakoni usaha regasifikasi, yakni hanya mengolah LNG menjadi gas.
Meski begitu, pemerintah belum memutuskan skema pengembangan Blok Masela antara skema pembangunan kilang pengolahan di laut (offshore) atau darat (onshore). “Masih menunggu sidang kabinet terbatas,” ujar Djoko.
Skema pengembangan Blok Masela memang menjadi perdebatan sejak pertengahan September tahun lalu. Awal perdebatan ini muncul setelah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli menolak rekomendasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) mengenai skema pengembangan FLNG. Ini berdasarkan proposal revisi rencana pengembangan atau Plan of Development (PoD) yang dijukan Inpex Masela selaku operator Blok Masela.
(Baca : Rizal vs Amien di Blok Masela)
Rizal menginginkan pengembangan Blok Masela menggunakan skema di darat (onshore). Artinya, pembangunan fasilitas pengolahan gas dari Blok Masela harus dibangun di darat. Sementara SKK Migas merekomendasikan skema offshore dengan pembangunan kilang pengolahan terapung (LNG). Alasan Rizal memilih skema darat karena akan memberikan efek berantai ke masyarakat dan wilayah sekitar operasional blok tersebut. Selain itu, skema onshore dianggap lebih murah. Jika skema itu dijalankan, kawasan Aru bahkan bisa lebih besar dibandingkan Balikpapan, Kalimantan Timur, berkat kehadiran kilang LNG Bontang.
Namun, menurut Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, skema FLNG lebih baik dibandingkan onshore. Jika menggunakan skema FLNG, biaya pembangunan kilang diprediksi hanya US$ 14,8 miliar atau Rp 207,2 triliun dan biaya operasional per tahun US$ 304 juta atau Rp 4,25 triliun. Sementara kalau skema pembangunan kilang di darat, biaya pembangunan diperkirakan US$ 19,3 miliar atau Rp 270,2 triliun. Adapun biaya operasionalnya membutuhkan dana US$ 356 juta atau Rp 4,98 triliun.
Meski ada perbedaan pandangan tersebut, Inpex menginginkan agar pemerintah segera memutuskan proposal revisi rencana pengembangan yang mereka ajukan. Manajer Communication and Relation Inpex Usman Slamet berharap apa yang diputuskan pemerintah nantinya adalah yang terbaik bagi semua pihak. (Baca : Inpex Desak Pemerintah Segera Putuskan Blok Masela)