Kontraktor Usul Moratorium Eksplorasi Sampai Harga Minyak US$ 50
KATADATA - Agar bisa bertahan menghadapi harga minyak dunia yang rendah, kontraktor minyak dan gas (migas) meminta insentif dari pemerintah. Salah satu insentif yang diinginkan adalah moratorium eksplorasi. Dengan begitu kontraktor bisa menunda kegiatan eksplorasi tanpa terkena sanksi dari pemerintah.
Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah mengatakan moratorium eksplorasi diperlukan selama harga minyak rendah dan tidak ekonomis. Setidaknya sampai dengan harganya menyentuh US$ 50 per barel. “Seumpama harga minyak di atas US$ 50 per barel baru moratorium dibatalkan,” kata dia kepada Katadata, Rabu (17/2). (Baca: Banjir Pasokan, Harga Minyak Bisa Terus Turun Hingga Akhir Tahun)
Sejak pertengahan 2014, harga minyak dunia terus merosot, menjauh dari level US$ 100 per barel. Saat ini harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) hanya US$ 31,26 per barel dan jenis Brent sebesar US$ 34,91 per barel. Padahal biaya untuk memproduksi minyak di Indonesia mencapai sekitar US$ 21 – US$ 45 per barel.
Artinya dengan harga minyak sekarang, banyak perusahaan migas yang merugi, atau jika mendapat untung pun sangat kecil. Kondisi ini, membuat kontraktor kesulitan melakukan eksplorasi dan mencari sumber minyak baru. Untuk melakukan eksplorasi, kontraktor biasanya mengeluarkan dana sekitar US$ 6 – US$ 8 juta.
Saat ini sudah banyak perusahaan migas yang sudah mengurangi investasi, bahkan ada yang sampai menghentikan kegiatan eksplorasinya. Masalahnya, kontraktor terikat kontrak pengelolaan blok migas. Dalam kontrak ini perusahaan migas punya waktu 10 tahun untuk eksplorasi. Penghentian eksplorasi sama saja menyia-nyiakan jatah waktu ini. (Baca: Insentif Lambat, SKK Migas Ingatkan Produksi Minyak Bisa Setop)
Oleh karena itu moratorium masa eksplorasi sangat dibutuhkan perusahaan migas saat ini. Sammy mengatakan sampai saat ini sudah ada beberapa kontraktor yang mengajukan moratorium. Kebanyakan kontraktor tersebut bergelut di bisnis gas metana dan batubara (coal bed methane/CBM) atau migas non konvensional.
Pemerintah harus segera mempercepat pelaksanaan aturan mengenai migas non konvensional yang tercantum dalam Peraturan Menteri (permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 38 tahun 2015. Menurut Sammy ada hal penting yang dibutuhkan pengusaha dalam permen tersebut untuk segera diimplementasikan. Salah satunya mengenai skema bagi hasil. Pemerintah harus cepat membuat formula bagi hasil untuk kontraktor.
Skema bagi hasil untuk migas non konvensional seperti minyak serpih (shale oil) dan CBM berbeda dengan migas konvensional. Bagi hasil untuk migas jenis ini bisa menggunakan dua skema yakni sliding scale dan gross split sliding scale. (Baca: Aturan Migas Nonkonvensional Resmi Terbit, Kontraktor Bisa Ubah Kontraknya)
Sliding scale bagi hasilnya progresif berdasarkan kumulatif produksi. Semakin besar produksi, bagi hasil yang didapat negara makin besar. Begitu juga sebaliknya. Skema ini masih menggunakan mekanisme pengembalian biaya operasi (cost recovery). Tapi pemerintah sampai saat ini belum menentukan berapa besaran bagi hasilnya.
Pada kontrak migas konvensional, bagi hasil untuk negara biasanya 80 persen untuk minyak dan 70 persen untuk gas. Sementara skema gross split sliding scale tidak menggunakan sistem cost recovery. Perhitungan bagi hasilnya masih kotor, sebelum dikurangi biaya operasi. Bagi hasilnya bersifat progresif yang diakumulasi dalam satu tahun.
Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan pihaknya masih membahas insentif yang akan diberikan kepada kontraktor migas. "Sedang dibahas, belum final. Pokoknya segera, karena kan harga minyak di bawah US$ 30 per barel," katanya di Jakarta, Selasa (16/2). (Baca: Pemerintah Kaji Skema Kontrak Migas Baru Selain PSC)
Selain moratorium, pemerintah tengah membahas insentif lain, seperti fleksibilitas mengubah wilayah kegiatan eksplorasi. Kontraktor ingin dapat kebebasan memindahkan kegiatan eksplorasi ke lapangan lain yang dianggap lebih potensial. Kemudian keleluasaan mengganti kegiatan survei seismik 3D menjadi 2D, atau hanya membeli data dari pemerintah.
Kontraktor juga meminta penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pembebasan pajak lain hingga lima tahun masa produksi. Ada juga usulan jatah pemerintah saat awal produksi atau first tranche petroleum (FTP) dan jatah migas dalam negeri (domestic market obligation/DMO) tidak diterapkan selama harga minyak rendah. Bagi hasil pemerintah juga kecil selama harga minyak rendah. Kontraktor migas juga mengusulkan biaya operasi migas di luar negeri dapat dibayar melalui produksi di Indonesia.