Pemerintah Kaji Penurunan Harga 15 Kontrak Gas Bumi
KATADATA - Pemerintah tengah menggodok aturan untuk menurunkan harga gas bumi. Meski aturannya belum terbit, saat ini ada beberapa kontrak jual-beli gas yang diusulkan mendapat penurunan harga. Tujuannya untuk meningkatkan daya saing industri.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan, penurunan harga gas memang masuk dalam paket kebijakan ekonomi jilid III yang telah diumumkan Oktober tahun lalu. Penurunan harga gas tersebut semula direncanakan efektif per awal Januari 2016. Namun, sampai saat ini kebijakan tersebut belum juga dijalankan lantaran masih terkendala dasar hukum.
(Baca: Penurunan Harga Gas Industri Menunggu Peraturan Presiden)
Dalam rancangan peraturan presiden (Perpres) tersebut, menteri berwenang menetapkan harga gas bumi dengan dua pertimbangan. Pertama, apabila harga gas bumi sesuai keekonomian lapangan namun bagi industri yang menggunakan gas itu harganya masih tergolong mahal. Kedua, harga gas bumi lebih tinggi dari US$ 6 per MMBTU.
Rancangan beleid itu mencantumkan, jika harga gas di hulu sekitar US$ 6 sampai US$ 7 per MMBTU maka penurunannya sebesar US$ 1. Sementara kalau harga gas di atas US$ 8, maka akan turun sebesar US$ 2 per MMBTU.
Saat ini, usulan penurunan harga kontrak gas sebanyak 15 kontrak, yang terletak di lima wilayah. Yakni di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara. Mayoritas gas itu diproduksi oleh PT Pertamina EP. Adapun penurunan harganya pun bervariasi.
Di sisi lain, pemerintah mengklaim penurunan harga gas ini tidak akan merugikan para kontraktor migas. Alasannya, mekanisme penurunan harga melalui pengurangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari penjualan gas bumi. Kebijakan tersebut akan mengurangi penerimaan negara sebesar US$ 104 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun saban tahun.
Berdasarkan hitungan pemerintah, setiap penurunan US$ 1 per juta british thermal unit (MMBTU) akan menyebabkan negara kehilangan potensi penerimaan sebesar Rp 6,6 triliun. Di sisi lain, kebijakan itu berpotensi menambah setoran pajak sekitar Rp 12,3 triliun. Selain itu, memicu efek berantai sehingga roda perekonomian berputar lebih kencang. Taksiran nilai efek berantai dari bisnis tersebut sekitar Rp 68,95 triliun.
Lain halnya jika penurunan harga gas sebesar US$ 2 per mmbtu, maka akan mengakibatkan penurunan potensi penerimaan negara.sebesar Rp 13,39 triliun. Namun, berpotensi meningkatkan penerimaan pajak baru sebesar Rp 24,6 triliun dan efek berantai dari perputaran roda ekonomi sebesar Rp 137 triliun.
(Baca: Penurunan Harga Gas Industri Bisa Hasilkan Efek Berantai Rp 137 Triliun)
Selain memangkas penerimaan negara, skema penurunan harga dilakukan dengan penataan biaya gas di sisi hilir. “Ini melalui penetapan tarif penyaluran gas bumi yang meliputi pencairan (liquefaction), pemampatan (kompresi), pengangkutan melalui pipa transmisi dan distribusi, pengangkutan LNG (Liquefied Natural Gas) dan pengangkutan compressed natural gas, penyimpanan (storage), regasifikasi, dan atau niaga serta margin yang wajar,” kata Wiratmaja di Jakarta, beberapa hari lalu.
Nantinya ada empat macam industri yang mendapat prioritas penurunan harga gas. Pertama, industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku, seperti pabrik pupuk dan petrokimia. Kedua, industri strategis. Ketiga, industri yang menggunakan gas dalam proses produksinya. Jadi dalam pembuatan produk, fungsi gas tidak dapat digantikan. Keempat, industri manufaktur yang memiliki banyak pekerja.
(Baca: Menteri ESDM: Harga Gas Bisa Turun Hingga 30 Persen)
Dengan adanya penurunan harga gas, diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri. Apalagi sudah berlaku Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Selama ini mahalnya harga gas menjadi alasan sulitnya industri bersaing dengan negara lain. Sebagai informasi, harga gas untuk listrik paling rendah US$ 2,25 per mmbtu dan paling mahal US$ 7,97 per mmbtu. Harga gas untuk pupuk dan petrokimia paling mahal bisa mencapai US$ 8 per mmbtu. Sementara industri lain ada yang mencapai US$ 7,32 per mmbtu.