Jokowi Putuskan Skema Pengembangan Blok Masela di Darat
KATADATA - Setelah menunggu hampir tujuh bulan, pemerintah akhirnya memutuskan skema pengembangan Blok Masela. Presiden Joko Widodo memutuskan pengolahan gas untuk blok yang berada Laut Arafura tersebut menggunakan skema darat.
"Dari kalkulasi, perhitungan dan pertimbangan yang sudah saya hitung, kami putuskan dibangun di darat," kata Jokowi dalam rekaman pernyataan yang didapat Katadata dari Biro Pers Sekretariat Kepresidenan, Rabu (23/3). Jokowi mengungkapkan hal ini saat berada ruang tunggu keberangkatan Bandar Udara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat, siang tadi.
Jokowi mengungkapkan dua pertimbangan yang mendasari keputusan ini. Pertama, pemerintah ingin perekonomian daerah dan perekonomian nasional bisa terimbas dari adanya pembangunan proyek Blok Masela. Kedua, dengan proyek ini wilayah sekitar regional Maluku juga bisa ikut berkembang pembangunannya. (Baca: SKK Migas: Skema Darat Blok Masela Buang Waktu dan Ongkos)
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan pihaknya akan segera menindaklanjuti keputusan ini. Pihaknya akan menyampaikan surat resmi kepada investor Blok Masela, yakni Inpex dan Shell dalam waktu dekat. "Kami akan menyampaikan kepada investor untuk mengkaji ulang seluruh usulan. Toh memang proses memutuskan investasi akhirnya kan pada 2018," ujarnya.
Menurut Sudirman, kajian ulang yang akan dilakukan akan membuat proyek tersebut sedikit tertunda pelaksanaannya. Namun, dia akan meminta SKK Migas untuk membicarakannya lebih rinci lagi kepada Inpex dan Shell, agar penundaannya tidak terlalu panjang. (Baca: Seteru di Balik Kisruh Pengembangan Blok Masela)
Meski selama ini menilai pengembangan dengan skema pengolahan di laut (Floating LNG) lebih ekonomis, Sudirman akan patuh terhadap keputusan tersebut. Selaku penanggung jawab sektor, dia juga akan segera menindaklanjuti keputusan itu. Apalagi, pemilihan skema darat diputuskan Presiden setelah mendapatkan data dan informasi dari seluruh pihak dan menggali seluruh aspek, seperti pembangunan daerah.
Pengembangan Blok Masela memang menjadi polemik sejak September tahun lalu. Polemik bermula dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli, yang tidak setuju dengan rekomendasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengenai pengembangan Blok Masela. SKK Migas menyetujui revisi proposal rencana pengembangan wilayah atau Plant of Development (PoD) yang diajukan operator Blok Masela, Inpex Corporation. (Baca: Rizal vs Amien di Blok Masela)
Dalam proposal yang diajukan pada September 2015 itu, Inpex mengubah kapasitas FLNG dari 2,5 juta ton per tahun selama 30 tahun menjadi 7,4 juta ton per tahun selama 24 tahun. Perubahan kapasitas FLNG ini terjadi karena cadangan yang ditemukan lapangan tersebut meningkat dari proposal awal sebesar 6,05 triliun kaki kubik (tcf) mejadi 10,3 tcf. Namun, Rizal menilai pengolahan gas Blok Masela tidak tepat jika menggunakan FLNG. Untuk meningkatkan pembangunan daerah wilayah Maluku, kilang tersebut harus dibangun di darat.
Sebaliknya, Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi menganggap yang paling ekonomis untuk pengembangan Blok Masela adalah membangun kilang apung atau FLNG. Skema ini dianggap lebih murah dibandingkan harus membangun kilang di darat. Opsi ini juga didukung oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. (Baca: Gubernur Maluku Minta Hentikan Kegaduhan Blok Masela)
Amien mengatakan, biaya yang diperlukan untuk skema FLNG adalah US$ 14,8 miliar. Sementara membangun kilang di darat akan menghabiskan dana sebesar US$ 19,3 miliar. Tidak hanya itu, penerimaan negara juga akan lebih besar jika menggunakan skema kilang di laut. Selama 24 tahun, negara akan menerima US$ 51,76 miliar. Tapi, jika menyalurkan gas ke darat, pemerintah hanya mendapatkan US$ 39,59 miliar.