Sistem Keuangan Stabil, BI Waspadai Kenaikan Kredit Bermasalah
Bank Indonesia menilai stabilitas sistem keuangan masih terjaga baik, ditandai dengan ketahanan industri perbankan dalam menyerap tiga risiko: risiko pasar, krdit, dan likuiditas. Namun, bank sentral terus mewasdapai kenaikan kredit bermasalah yang berisiko mengancam ketahanan bank.
Berdasarkan kajian BI, stabilitas sistem keuangan per Maret 2016 masih berada di zona hijau atau normal. Namun, Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Yati Kurniati melihat, ada beberapa risiko yang harus diwaspadai.
Dari faktor eksternal, BI masih mewaspadai berlanjutnya perlambatan ekonomi di negara maju yang belum merata. Selain itu, ketidakpastian kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) atau Fed Rate dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan. Ada pula risiko perlambatan ekonomi negara yang pasarnya tengah berkembang (emerging market), dan tren penurunan harga komoditas.
Dari dalam negeri, stabilitas pasar keuangan sempat terganggu akibat tekanan pelemahan nilai tukar rupiah. Tetapi, tekanan itu bisa dikendalikan seiring penguatan rupiah hingga Maret lalu.
Ditinjau dari sisi institusi keuangan, ketahanan industri perbankan terpantau masih kuat menyerap risiko kredit, pasar, dan likuiditas. BI mencatat, rasio likuiditas perbankan menunjukan perbaikan, yang tercermin dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) sebesar 21,8 persen.
Namun, ada risiko yang perlu diwaspadai yakni perlambatan penyaluran kredit dan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Sementara rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) juga naik ke level 2,8 persen.
“Ini (kenaikan NPL) masuk dalam range yang perlu diwaspadai agar tidak meningkat. Kalau mendekati lima persen, lampu kuningnya sudah menebal,” kata Yati saat menyampaikan kondisi Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia di Gedung BI, Jakarta, Jumat (27/5).
(Baca: Debitur Menengah Picu Peningkatan Kredit Masalah Bank Mandiri)
Dia menjelaskan, ketika NPL meningkat maka perbankan akan semakin berhati-hati menyalurkan kredit. Untungnya tingkat pengetatan kredit mulai menurun lantaran perbankan meningkatkan penyaluran kredit kepada nasabah lama. Bank sudah lebih mengenal perilaku debiturnya sehingga bisa menghindari peningkatan NPL.
BI mencatat, NPL di sektor minyak dan gas (migas) ataupun pertambangan menunjukkan peningkatan. Karena itu, Yati meminta perbankan berhati-hati menyalurkan kredit ke sektor tersebut.
Dari sisi permintaan kredit juga menurun akibat perlambatan ekonomi sehingga pelaku usaha menahan diri untuk ekspansi. Karena itulah, pemerintah mendorong pertumbuhan kredit dengan subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR) menjadi 9 persen tahun ini dan 7 persen tahun depan.
(Baca: Tiga Otoritas Siap Cegah Ambruknya Sistem Keuangan)
Sedangkan BI akan memberikan denda kepada bank yang enggan menyalurkan kredit dan lebih memilih memupuk pendapatan lebih besar. Karena itulah, BI tengah mengkaji melonggarkan rasio pinjaman terhadap nilai agunan (loan to value/LTV) atau loan to funding ratio (LFR). Harapannya, bank lebih gencar menyalurkan kreditnya. “Besarannya masih dalam kajian,” kata Yati.
Di sisi lain, pertumbuhan aset Industri Keuangan Non Bank (IKNB) yaitu perusahaan pembiayaan dan asuransi cenderung melambat. Namun, pembiayaan bermasalah (Non Performing Finance/NPF) masih terjaga, meskipun rasio klaim bruto asuransinya meningkat menjadi sekitar 70 persen.
(Baca: Pembengkakan Kredit Bermasalah Menggerus Laba Bank BUMN)
Yati melihat, ada keterkaitan anatara kreditur perbankan dan IKNB. Karena itulah, BI bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkoordinasi menjaga agar stabilitas industri keuangan tetap terjaga.
Sementara itu, BI juga mengkaji perilaku rumah tangga dan korporasi. Menurut Yati, penurunan pendapatan masyarakat di tengah perlambatan ekonomi telah berpengaruh terhadap perlambatan DPK perbankan. BI mencatat, mayoritas masyarakat menggunakan dana atau depositonya untuk membiayai kebutuhan hidup yang bersifat primer, seperti sandang dan pangan.