S&P Tak Naikkan Rating Indonesia, Rupiah Tembus 13.700 per Dolar
Mata uang rupiah terus melemah hingga menembus level 13.700 per dolar Amerika Serikat (AS). Pelemahan rupiah tersebut menyusul keputusan Standard & Poor’s (S&P) yang tidak menaikkan peringkat kredit Indonesia ke level layak investasi (invesment grade).
Pada perdagangan di pasar spot, Kamis pagi (2/6), rupiah langsung menyentuh posisi 13.705 per dolar AS atau melemah 0,32 persen dibandingkan hari sebelumnya. Ini merupakan posisi terendah rupiah dalam empat bulan terakhir atau sejak 3 Februari lalu. Meskipun kemudian rupiah kembali bergerak naik dan bertengger di posisi 13.635 per dolar AS pada pukul 11.30 WIB.
Bank Indonesia juga mencatat, rupiah berdasarkan kurs referensi JISDOR hari ini sebesar 13.695 per dolar AS. Posisinya melemah 0,2 persen dibandingkan penutupan perdagangan sehari sebelumnya.
Pelemahan rupiah itu menyusul keputusan S&P mempertahankan peringkat kredit Indonesia sebesar BB+ dengan prospek positif. Pertimbangannya, S&P melihat masih adanya risiko fiskal dan anggaran yang dihadapi pemerintah Indonesia lantaran rendahnya penerimaan negara. Selain itu, ada risiko yang bersifat struktural.
“Karena itu kami menegaskan (peringkat) BB+ untuk jangka panjang dan B untuk jangka pendek,” kata S&P dalam siaran persnya, Rabu (1/6) malam. Padahal, banyak pihak semula optimistis lembaga pemeringkat internasional itu akan menaikkan rating kredit Indonesia ke level layak investasi.
(Baca: Anggaran Terancam, Indonesia Gagal Raih Peringkat Investasi dari S&P)
Ekonom Kenta Institute Eric Sugandi menilai, keputusan S&P itu memang akan menekan rupiah. Namun, kondisi itu hanya berlangsung sesaat alias jangka sangat pendek.
Selain itu, berdampak negatif terhadap harga surat utang negara (SUN) berupa penurunan harga SUN dan kenaikan imbal hasil (yield).
“Tapi itu hanya sementara, jangka sangat pendek, karena berkaitan dengan persepsi,” katanya kepada Katadata. Alasannya, kondisi fundamental ekonomi Indonesia sebenarnya tidak terlalu jelek.
Jadi, Eric memperkirakan, aliran masuk dana asing tetap ada walaupun tidak terlalu deras. Sebab, saat ini memang belum ada berita bagus mengenai ekonomi Indonesia yang bisa menarik dana investor asing secara massif.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga optimistis investasi portofolio masih cenderung positif. Alasannya, prospek kredit Indonesia yang diberikan S&P adalah “Positif”. Apalagi, fundamental ekonomi Indonesia semakin membaik.
Meski begitu, Eric memperkirakan permintaan S&P agar pemerintah menekan defisit anggaran dan mengurangi utang agar peringkat kreditnya dinaikkan, masih sulit dilaksanakan. Penyebabnya, penerimaan negara masih seret seiring minimnya penerimaan pajak.
Sekadar informasi, per 8 Mei lalu, penerimaan negara baru sekitar Rp 419,2 triliun atau 23 persen dari target tahun ini Rp 1.822,5 triliun. Dari jumlah tersebut, penerimaan pajak -di luar bea dan cukai- sekitar Rp 272 triliun atau 20 persen dari target pajak Rp 1.360,2 triliun.
Alhasil, pemerintah berencana memperbesar target defisit anggaran dari 2,15 persen menjadi 2,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun ini. Sumber pembiayaan defisit tentu saja salah satunya dari utang atau pinjaman luar negeri.
Karena itu, menurut Eric, perlu adanya sumber pendapatan yang luar biasa pada tahun ini untuk memperkecil defisit. Andalan utama pemerintah adalah penambahan penerimaan dari kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty), yang pernah diklaim Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mencapai Rp 165 triliun.
Ekonom Mandiri Sekuritas Leo Putera Rinaldy juga melihat kebijakan yang memungkinkan pemerintah meraih peringkat layak investasi dari S&P adalah menerapkan amnesti pajak. Kebijakan itu memang tidak bisa langsung menyelesaikan persoalan anggaran, namun setidaknya bisa membantu mengelola risiko penerimaan. “Setidaknya ada revenue generation,” katanya.
Josua juga berpandangan serupa. Penerapan amnesti pajak tahun ini akan menambah penerimaan sehingga risiko defisit anggaran mengecil. Jika beleid tax amnesty disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan dijalankan pemerintah, dia yakin peluang kenaikan peringkat Indonesia semakin terbuka. Karena rasio utang terhadap PDB juga masih rendah di kisaran 30 persen.
Namun, Leo mengingatkan pemerintah agar lebih realistis menetapkan target, baik dari sisi penerimaan atau belanja. Selain itu, perlu melebarkan ruang defisit fiskal untuk memastikan belanja infrastruktur tetap berjalan.