Dua Resep Sri Mulyani Menghadapi Badai Ekonomi
Sehari sebelum ditetapkan sebagai Menteri Keuangan, kemarin Sri Mulyani menyampaikan pandangannya mengenai perkembangan ekonomi global di Universitas Indonesia. Managing Director dan Chief Operating Officer Bank Dunia itu menyatakan dunia sedang menghadapi tekanan berat.
Sri Mulyani menyebutnya sebagai badai yang datang bersamaan secara sempurna atau perfect storm. Ini merupakan situasi yang dipicu oleh melemahnya ekonomi dan perdagangan dunia serta perlambatan dan perubahan struktural ekonomi Cina,.
Faktor lainnya yaitu kejatuhan harga-harga komoditas, aliran modal ke negara berkembang menyusut, konflik dan serangan terorisme meluas, serta perubahan iklim global. (Baca: Sri Mulyani: Pertumbuhan Ekonomi Dunia Masih Rapuh).
Yang paling terpukul dari kondisi ini, kata Sri, adalah negara pengekspor komoditas, termasuk Indonesia. Karena itu tak heran jika revisi pertumbuhan ekonomi sebanyak 40 persen dialami oleh negara-negara ini. Butuh kerja sama yang erat dan koordinasi kebijakan antarnegara untuk membangun kembali kepercayaan. Juga, menghilangkan halangan perdagangan dan investasi untuk menunjang produktivitas dan memulihkan pertumbuhan ekonomi.
“Namun yang terjadi di dunia sebaliknya. Populisme tengah bangkit dan bahkan meluas. Kesediaan untuk bekerja sama antarnegara berada pada titik terendah sepanjang sejarah. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) adalah salah satu contoh,” kata Sri.
Oleh karena itu, dia merekomendasikan dua hal untuk menghadapi tantangan perekonomian saat ini. Resep ini terutama untuk mengantisipasi besarnya dampak perlambatan ekonomi terhadap kaum miskin. (Baca: Inflasi Terkendali, Penduduk Miskin Perkotaan Turun-Desa Naik).
Pertama, berperan aktif di tengah globalisasi. Negara yang mampu memanfaatkan globalisasi dan membangun ketahanan atas hal itu akan sukses mengentaskan kemiskinan dan mencapai kemakmuran, tak terkecuali Indonesia.
Seingatnya, Indonesia telah memanfaatkan perdagangan dan investasi global dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun terakhir. Upaya tersebut bisa terus dilakukan mengingat perdagangan intra-ASEAN saja mencapai lebih dari US$ 600 miliar per tahun, dan dengan negara di luar ASEAN di atas US$ 1,9 triliun. Peluang ini bisa dimanfaatkan oleh Indonesia.
Sayangnya, rata-rata upah buruh Indonesia di bidang manufaktur merupakan yang terendah. Namun biaya per unit tenaga kerjanya relatif tinggi, yang mencerminkan produktivitas tenaga kerja belum baik. Selain itu, biaya perdagangan di Indonesia relatif tinggi dibandingkan Malaysia, Vietnam, dan Thailand. (Lihat pula: Sri Mulyani, Wanita Berpengaruh ke-9 di Dunia Keuangan).
“Indonesia melakukan paket kebijakan perdagangan yang cukup signifikan untuk mengurangi hambatan perdagangan dan investasi. Ini perkembangan yang baik, karena sebelumnya, menurut laporan Global Alert, Indonesia termasuk salah satu negara yang paling sering menerapkan hambatan perdagangan,” ujar dia.
Rekomendasi kedua, yakni mengurangi ketimpangan. Indikator kesenjangan (koefisien gini) Indonesia meningkat 11 level selama 11 tahun menjadi ke 41 pada 2014. Ketimpangan tajam ini bisa menghambat potensi pertumbuhan jangka panjang Indonesia. “Masalahnya, ketimpangan di Indonesia banyak ditentukan oleh hal-hal yang di luar kendali penderita,” ujarnya.
Sepertiga dari ketimpangan di Indonesia disebabkan oleh empat faktor pada saat seseorang lahir: di provinsi mana ia lahir, di desa atau kota, apakah kepala rumah tangga perempuan, dan eberapa tinggi tingkat pendidikan orang tua. Artinya, kesenjangan pendapatan bukan sekadar dampak dari ketimpangan, tetapi akibat munculnya ketimpangan peluang.
Anak-anak Indonesia yang lahir dengan ketimpangan tersebut akan sulit mengatasi ketimpangan di masa depan. Faktor pertama yang menentukan adalah layanan kesehatan. Sekitar 37 persen balita Indonesia mengalami stunting atau tidak menerima nutrisi yang cukup, mulai dari kandungan hingga usia dua tahun. Stunting mengakibatkan otak seorang anak kurang berkembang. Ini berarti satu dari tiga anak Indonesia akan kehilangan peluang lebih baik dalam hal pendidikan dan pekerjaan dalam sisa hidup mereka.
Ini adalah musibah bagi Indonesia. Tingkat stunting di Indonesia sangat tinggi dibanding negara tetangga yakni Thailand 16 persen dan Vietnam 23 persen,” kata Sri.
Ketersediaan anggaran maupun kualitas penggunaan anggaran juga berpengaruh. Tingkat belanja kesehatan terhadap PDB di Indonesia merupakan yang terendah ke lima di dunia, yaitu 1,2 persen pada 2014. Akses layanan kesehatan di pedesaan juga menurun. (Lihat pula: Sri Mulyani Masuk Kabinet, Bursa Saham dan Rupiah Menguat).
Lebih dari 40 persen penduduk di Kalimantan Barat, Maluku, dan Sulawesi Barat memerlukan lebih dari satu jam untuk mencapai rumah sakit umum, dibanding 18 persen secara nasional. Hanya tiga provinsi yang memenuhi rekomendasi World Health Organization (WHO) dengan adanya satu dokter untuk tiap 1.000 orang penduduk.
Faktor kedua yang berperan dalam ketimpangan peluang adalah belum meratanya kualitas pendidikan di Indonesia. Sekolah di desa berpeluang lebih kecil untuk memiliki guru terlatih dan fasilitas yang baik. Akibatnya, capaian pendidikan sangat bervariasi antara kabupaten dengan kota, dan antarprovinsi.
Lebih lanjut Sri mengungkapkan angka partisipasi juga belum ideal. Pada tingkat SMA, angka partisipasi sekolah turun drastis bagi penduduk miskin. Hanya 33 persen anak-anak dari kelompok 20 persen termiskin tetap sekolah pada tingkat SMA, dibandingkan dengan 76 persen untuk kelompok dua puluh persen terkaya.