Pembangunan Terminal Regasifikasi Pertamina di Banten Molor
Proyek pembangunan terminal regasifikasi gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) PT Pertamina Persero di Bojonegara, Banten terancam molor. Hingga saat ini pembangunan proyek tersebut belum juga masuk tahap finalisasi.
Vice President of the Liquefied Natural Gas Pertamina Didik Sasongko Widi mengatakan masih ada ketidakpastian dalam proyek tersebut. Ada perdebatan antara Pertamina dengan anggota lain yang tergabung dalam perusahaan yang bekerjasama di proyek tersebut.
Didik mengaku belum bisa menyebutkan siapa saja mitra Pertamina dalam proyek tersebut. Namun, sebelumnya Pertamina pernah menyatakan menggandeng tiga mitra dalam pembangunan proyek tersebut, yakni Tokyo Gas Vo Ltd dan Mitsui & Co Ltd. Satu mitra lainnya adalah perusahaan lokal yang terafiliasi Kalla Group, PT Bumi Sarana Migas.
Pembangunan proyek terminal penerimaan (receiving terminal) LNG dan fasilitas regasifikasinya di Bojonegara berkapasitas 500 juta kaki kubik per hati (mmscfd) atau setara dengan 4 juta ton LNG per tahun. Proyek ini rencananya akan rampung pengerjaannya pada 2019.
(Baca: Harga LNG Tangguh ke Arun Turun 27 Persen dalam Enam Bulan)
Namun dengan adanya perdebatan saat ini, Pertamina belum bisa memastikan kapan proyek tersebut akan dibangun. Didik pun belum bisa memastikan pembangunan terminal penerimaan dan regasifikasi bisa selesai tepat waktu dalam tiga tahun ke depan.
"Kami masih berusaha 2019 akhir bisa selesai. Tapi kalau saya ditanya, 2020 keliatannya. Karena sekarang ada ketidakpastian,” ujarnya dalam acara workshop Pertamina, di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Jumat (7/10).
Seharusnya, kata Didik, kepastian pembangunan proyek ini sudah bisa diputuskan pada pertengahan tahun 2016. Karena masih adanya isu-isu internal dalam konsorsium, hingga kini keputusan tersebut belum juga disepakati. Namun, dia tidak menyebutkan apa saja isu yang masih menjadi perdebatan tersebut.
Didik mengaku masih optimistis keempat perusahaan dalam konsorsium bisa menyelesaikan perdebatan dan segera memutuskan pembangunan proyek infrastruktur gas ini. Meski keputusan tersebut bisa disepakati dalam waktu dekat, tetap saja proyek ini tidak akan bisa selesai pada 2019.
(Baca: Dapat Pasokan, Badak NGL Batal Setop Satu Fasilitas Pengolahan)
Masing-masing anggota tak akan bisa memaksakan untuk mengebut pengerjaan proyek selesai sesuai target. Hal ini akan menyebabkan biaya pembangunan yang dikeluarkan membengkak. Paling ideal memang proyek ini selesai dan mulai mengalirkan gas pada 2020.
Dalam konsorsium ini Pertamina memiliki saham minoritas. Alasannya, Pertamina akan lebih fokus pada penggunaan fasilitas ini untuk membawa gas yang dimilikinya dari tambang gas menggunakan kapal Pertamina menuju terminal LNG ini. Kemudian hasilnya baru dijual.
"Seperti tukang jahit lah. Kita bawa bahan tolong jahitkan. Setelah jadi pakaian, nah saya angkut lagi buat dijual," ujarnya.