Kementerian Keuangan Akan Periksa Laporan Tidak Wajar SKK Migas
Kementerian Keuangan akan berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan atas temuan Rp 5,12 miliar dalam pemberian bantuan kedinasan untuk alat komunikasi pekerja dan pimpinan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani juga akan membicarakannya dengan SKK Migas.
Menurut dia, hal tersebut masih sesuai dengan tugas Kementerian sebagai bendahara negara. “Nanti BPK menginfokan ke Kementrian Keuangan, SKK juga. Kami sesuaikan dengan tugas kami,” kata Askolani usai rapat dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Senin, 10 Oktober 2016. (Baca: BPK Nilai SKK Migas Bersalah Tunjuk Konsultan Asing Blok Masela).
Temuan tersebut merupakan bagian dari audit BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2016, khususnya yang terkait dengan SKK Migas. Melalui audit tersebut, lembaga tinggi negara itu memvonis SKK Migas dengan opini tidak wajar (TW), setelah empat tahun sebelumnya mengantongi penilaian wajar tanpa pengecualian (WTP).
Di antara indikator yang disuguhkan yaitu terungkapnya 12 temuan yang memuat 13 permasalahan dalam sistem pengendalian internal (SPI). Satua di antaranya yaitu pemberian bantuan alat komunikasi ini yang terjadi pada 2015. Tindak tersebut dianggap memboroskan keuangan negara senilai Rp5,12 miliar. (Baca: Simpan Banyak Masalah, BPK Vonis Laporan SKK Migas Tidak Wajar).
Menurut BPK, masalah itu terjadi karena SKK Migas dalam memberikan biaya komunikasi belum mengacu kepada benefit pekerja. “Dan tidak secara spesifik mengajukan izin prinsip remunerasi dan benefit kepada Menteri Keuangan,” demikian BPK menyimpulkan temuannya.
Atas hal tersebut, Askolani mengatakan ada hal-hal teknis di SKK Migas yang tidak dapat diatur oleh Kementerian Keuangan. Sayangnya, dia tidak menjelaskan lebih lanjut apakah pemberian alat komunikasi tersebut masuk di dalam hal teknis. (Baca: Divonis BPK Tidak Wajar, SKK Migas: Itu Opini Paling Tidak Baik).
Mereka ada ketetapannya dari zaman lama, tapi tidak diatur khusus oleh Menkeu,” katanya.
Secara umum, dia memastikan akan memeriksa hal tersebut lantaran anggaran SKK Migas masih berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kementerian akan menggunakan hasil laporan BPK sebagai petunjuk utama apakah ada alokasi anggaran yang tidak sesuai, terutama terkait audit untuk belanja pegawai atau barang.
Menaggapi penilain tersebut, SKK Migas menyatakan, sebagaimana termuat dalam audit, bantuan fasilitas telekomunikasi bukan merupakan benefit. “Karena merupakan pemberian fasilitas untuk memenuhi kebutuhan biaya telekomunikasi yang diperlukan pimpinan dan pekerja dalam memenuhi tugas pokok dan fungsinya,” ujar SKK Migas.
Temuan yang Berujung Tidak Wajar
BPK menilai laporan keuangan SKK Migas pada 2015 tidak wajar, penilaian terrendah dalam sistem audit lembaga pemeriksa negara tersebut. Opini tersebut meruntuhkan prestasi SKK Migas empat tahun sebelumnya yang mengantongi penilaiana wajar tanpa pengecualian, poin tertinggi dalam pemeriksaan.
Berikut ini indikator yang disuguhkan BPK:
- Pengakuan kewajiban diestimasi atas imbalan pascakerja berupa manfaat penghargaan atas pengabdian (MPAP), masa persiapan pensiun (MPP), imbalan kesehatan purna karya (IKPK), dan penghargaan ulang tahun dinas (PUTD) per 31 Desember 2015 senilai Rp 1,02 triliun tidak disetujui oleh Kementerian Keuangan. Hal ini karena tidak adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pegawai BP Migas –lembaga lama SKK Migas- pada 13 November 2012.
Selain itu, berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan, BP Migas tidak dapat mengklaim biaya manfaat pekerja sebagai piutang BP Migas terhadap pemerintah. Hak tagih atas hal tersebut tidak ada tidak disetujui, sehingga asersi hak dan kewajiban tidak terpenuhi. Berdasarkan hal-hal tersebut, SKK Migas tidak dapat menyajikan kewajiban diestimasi atas imbalan pascakerja.
- SKK Migas belum menyajikan piutang abandonment & site restoration (ASR) kepada delapan Kontarktor Kontrak Kerja Sama senilai Rp 72,33 miliar. Padahal, klausul kewajiban pencadangan ASR telah diatur dalam production sharing contract (PSC).
- Selain opini tersebut, BPK mengungkapkan 12 temuan yang memuat 13 permasalahan SPI (Sistem Pengendalian Internal). Juga, empat masalah ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan senilai Rp 1,15 miliar. (Baca juga: BPK Temukan Potensi Kerugian Aset Negara oleh Chevron).
Atas masalah tersebut, BPK merekomendasikan kepada Kepala SKK Migas agar:
- Berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk meminta persetujuan penggunaan bantuan komunikasi dalam bentuk uang elektronik bagi pekerja tetap. Secara spesifik juga diminta persetujuan pemberian bantuan komunikasi dalam unsur upah pekerja tidak tetap.
- Memberikan peringatan kepada PPK, Pokja ULP dan fungsi pengguna jasa pengelolaan kegiatan agar memperhatikan ketentuan peraturan. Selain itu, mesti memulihkan kelebihan pembayaran dan pembayaran di luar kontrak senilai Rp 1,07 miliar.