Impor Mesin dan Ponsel Cina Naik, Surplus Dagang Oktober Susut
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca perdagangan pada Oktober lalu sebesar US$ 1,21 miliar. Nilainya lebih kecil dibandingkan surplus dagang bulan sebelumnya. Penyebabnya, kenaikan nilai impor lebih besar, antara lain impor mesin, peralatan listrik, kapal laut, perhiasan hingga telepon genggam murah.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, nominal surplus neraca perdagangan susut US$ 10 juta dibanding posisi September 2016. Penyusutan tersebut karena impor tumbuh lebih tinggi daripada ekspor.
Nilai impor pada Oktober mencapai US$ 11,47 miliar atau naik 1,55 persen dibanding bulan sebelumnya. Sedangkan jika dibandingkan Oktober 2015, kenaikannya mencapai 3,27 persen. Sedangkan ekspor pada Oktober lalu sebesar US$ 12,68 miliar atau meningkat 0,88 persen dibanding bulan sebelumnya. Bahkan, kenaikan ekspor mencapai 4,6 persen dibandingkan Oktober 2015.
(Baca juga: Impor Melambat, Surplus Dagang September Tertinggi Sejak 2015)
Dari sisi impor, pria yang akrab disapa Kecuk menjelaskan, kenaikan ini disebabkan oleh impor nonmigas yang mencapai US$ 9,94 miliar atau naik 4,27 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan dibandingkan bulan sama tahun lalu, kenaikannya sebesar 6,33 persen.
Berdasarkan golongannya, impor nonmigas terbesar terjadi pada golongan mesin dan peralatan listrik yaitu sebesar US$ 80,9 juta atau naik 6,25 persen. Diikuti oleh golongan kapal laut dan bangunan terapung sebesar US$ 54,5 juta atau naik 66,71 persen.
"Untuk kapal laut dan bangunan terapung bukan hanya kapal laut saja. Tapi lebih kepada komponen untuk bangunan pengeboran minyak di tengah laut," kata Kecuk saat konferensi pers neraca dagang Oktober 2016 di Kantor BPS, Jakarta, Selasa (15/11).
Selanjutnya, impor perhiasan dan permata sebesar US$ 46,1 juta atau melonjak 102,22 persen. Selain itu, impor biji-bijian berminyak US$ 45,4 juta atau naik 82,13 persen dan besi dan baja mencapai US$ 44,4 juta atau naik 8,43 persen.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Sasmito Hadi Wibowo menambahkan, peningkatan impor ini juga disebabkan oleh naiknya kebutuhan masyarakat. Volume impor barang konsumsi naik seiring dengan harganya yang turun. "Seperti ponsel dari Cina, lagi murah-murahnya, selfie gampang, ya udah itu membuat (impor naik)," ujarnya.
Sebaliknya, impor migas turun cukup dalam. Pada Oktober lalu, nilanya cuma US$ 1,53 miliar, atau turun 13,13 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Demikian pula jika dibandingkan dengan Oktober 2015, turun 12,97 persen.
(Baca juga: Impor Naik, Surplus Perdagangan Oktober Diprediksi Menciut)
Di sisi lain, kenaikan ekspor ditopang ekspor nonmigas yang mencapai US$ 11,65 atau naik 1,22 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara itu, jika dibandingkan dengan Oktober 2015, kenaikannya 8,43 persen.
"Ekspor nonmigas terbesar Oktober 2016 terhadap September 2016 terjadi pada lemak dan minyak hewan/nabati sebesar US$ 287,1 juta atau naik 19,02 persen," katanya. Sedangkan penurunan ekspor nonmigas terbesar terjadi pada bijih, kerak, dan abu logam yaitu sebesar 37,28 persen menjadi US$ 158,8 juta.
Adapun ekspor migas masih turun 2,85 persen menjadi US$ 1,03 miliar. Kecuk menjelaskan, penyebabnya adalah merosotnya ekspor hasil minyak sebesar 34,31 persen menjadi US$ 51,9 juta. Selain itu, ekspor minyak mentah merosot 27,7 persen menjadi US$ 309,5 juta. Sedangkan ekspor hasil gas melonjak 20,82 persen menjadi US$ 669,9 juta.
Berdasarkan tujuan negara, Kecuk menjelaskan, ekspor nonmigas paling besar ke Cina US$ 1,68 miliar, disusul Amerika Serikat US$ 1,3 miliar, dan Jepang US$ 1,14 miliar. Porsi ekspor ke tiga negara tersebut mencapai 35,37 persen terhadap total ekspor. Sementara ekspor nonmigas ke Uni Eropa (28 negara) sebesar US$ 1,22 miliar.
Meski tumbuh positif pada Oktober, nilai ekspor Indonesia secara kumulatif pada Januari-Oktober 2016 mencapai US$ 117,09 miliar, atau turun 8,04 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Sementara itu, nilai impor Januari-Oktober 2016 mencapai US$ 110,17 miliar atau turun 7,50 persen. "Meskipun ada surplus, perlu diperhatikan baik ekspor atau impor masih tumbuh negatif," ujar Kecuk.