Gali Kekayaan Alam Indonesia, JK Minta Freeport Masuk Bursa
Jumlah emiten baru yang melantai di Bursa efek Indonesia (BEI) terus menyusut dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini mendapat sorotan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia mendorong perusahaan asing dan perusahaan pelat merah meramaikan bursa di dalam negeri.
Menurut Kalla, perusahaan-perusahaan asing yang meraup keuntungan dari kekayaan alam Indonesia perlu melantai di BEI. Salah satu contohnya, PT Freeport Indonesia. “Kekayaan alam kita digali, sebaiknya IPO di sini,” kata dia saat membuka perdagangan awal tahun 2017 di BEI, Jakarta, Selasa (3/1).
Bukan hanya perusahaan asing, perusahaan pelat merah-pun masih banyak yang belum melantai di bursa efek. Kalla mengatakan, baru 21 dari 150 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi emiten di BEI. Namun, tak ada paksaan untuk segera merealisasikan hal itu. “Ini tergantung di BUMN itu sendiri, apa yang siap,” ucapnya.
Kalla menuturkan, dengan menjadi emiten bursa efek, BUMN bisa mendapatkan akses ke modal jangka panjang yang lebih baik. Selain itu, tata kelola menjadi lebih baik lantaran lebih transparan.
Dorongan untuk melantai di bursa efek juga datang dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Menurutnya, momentum pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran lima persen semestinya dimanfaatkan oleh banyak perusahaan untuk melantai di bursa efek. (Baca juga: Semarak Penutupan Bursa, IHSG Tumbuh Tertinggi Kedua di Asia)
Ia pun menyayangkan jumlah emiten baru sepanjang tahun lalu yang cuma 16 perusahaan. Jumlah tersebut terendah dalam tujuh tahun terakhir. Hingga 2016, emiten di BEI mencapai 540 perusahaan.
“Perlu ada refleksi, kalau kapitalisasi pasar dengan capital player-nya sedikit maka itu bukan indikator yang sehat dan membanggakan. Kami harap market meningkat karena jumlah perusahaan yang masuk bursa juga banyak,” tutur dia. (Baca juga: Efek Tax Amnesty, Kapitalisasi Bursa Indonesia Cetak Banyak Rekor)
Minimnya jumlah emiten baru sempat ditanggapi Direktur Utama BEI Tito Sulistio saat penutupan perdagangan bursa akhir tahun lalu. Ia beralasan, penurunan jumlah emiten baru bukan hanya terjadi di Indonesia tapi juga di bursa saham global. Jumlah emiten baru di bursa dunia turun sebanyak 70 persen pada 2016.
Meski secara jumlah perusahaan menurun, Tito menekankan nilai penerbitan saham perdana di bursa lokal masih lebih besar ketimbang 2015. “Masih ada kenaikan dari Rp 11 triliun menjadi Rp 12 triliun,” kata Tito.
Ke depan, Sri Mulyani berharap semakin banyak perusahaan yang memanfaatkan pembiayaan dari pasar modal. Dengan begitu, pasar modal bisa semakin mendorong investasi di sektor riil dan berkontribusi besar dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ujung-ujungnya, mengurangi peran pengeluaran pemerintah.