Tabrak Undang-Undang, Payung Hukum Holding BUMN Kembali Digugat
Hal itu dinyatakan oleh Koordinator Presidium Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Mahfud MD. Mahfud mengatakan, dirinya tidak mempermasalahkan pembentukan perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) per sektor. Namun, aturan yang menjadi payung hukumnya harus setingkat dengan Undang-Undang (UU) dan tidak menabrak UU lainnya. Oleh karenanya, KAHMI akan menggugat aturan tersebut ke hadapan MA.
"Saya menyatakan, KAHMI akan mengajukan Judicial Review. Uji formal dan uji material. Ini bagian dari perjuangan rakyat," ujar Mahfud saat membuka acara diskusi publik dan siaran pers Uji Materi KAHMI Ke Mahkamah Agung, di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (6/2).
(Baca juga: Jokowi Minta Menteri Rini Berhati-hati Membuat Holding BUMN)
Menurut Mahfud, Payung hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas yang telah dikeluarkan pemerintah memiliki dua permasalahan. Pertama, dari aspek formal, yaitu PP 72/2016 ini tidak cukup dijadikan payung hukum pembentukan holding. Alasannya, BUMN diatur oleh UU BUMN, sehingga, jika mau membentuk holding ini, pemerintah haruslah mengeluarkan aturan yang setara UU.
Kedua, secara aspek substansi atau materil, isi dari PP 72/2016 ini menabrak UU yang berada di atasnya. Aturan tersebut dinilai memiliki substansi yang bertentangan dengan UU BUMN, UU Keuangan Negara, dan UU Perseroan Terbatas.
Salah satu yang menjadi perhatian serius adalah, payung hukum holding ini mengesampingkan peran DPR RI dalam melakukan fungsi anggaran dan pengawasan. "Seakan-akan BUMN ini akan menjadi PT yang terlepas seutuhnya dari keuangan negara," ujar Mahfud.
(Baca juga: Jokowi Perintahkan BUMN Masuk Bisnis Digital)
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menjelaskan, perumusan PP 72/2016 ini dinilai tanpa melibatkan DPR. Alhasil, terbit aturan yang mencoba melepaskan keuangan BUMN ini dari mekanisme Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau dengan kata lain tanpa melibatkan DPR. Padahal, dalam UU yang ada, penyertaan modal dan aksi korporasi BUMN harus melalui mekanisme APBN.
Bahkan, dengan adanya aturan ini, membuat BUMN yang ada bisa menjadi anak usaha. Hal tersebut membuat BUMN yang menjadi anak usaha bukan lagi berbentuk BUMN, sehingga, penjualan sahamnya mudah dilakukan. Oleh karenanya, Fadli mendukung langkah KAHMI dan organisasi masyarakat lainnya untuk mengajukan gugatan terhadap PP tersebut ke hadapan MA.
"Kita tidak ingin ada BUMN yang lepas lagi seperti Indosat. Aturan ini membuat mereka memperlakukan diri selayaknya perusahaan biasa dan bisnis action, nanti kita berpotensi kehilangan BUMN strategis," ujar Fadli.
(Baca juga: Amankan Aset Negara, DPR Tolak Payung Hukum Holding BUMN)
Sebelumnya, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) telah mengajukan judicial review PP 72/2016 ini ke Mahkamah Agung (MA). "Karena memang tugas MA membatalkan suatu peraturan di bawah UU jika bertentangan dengan UU," ujar Advokat Rakyat Indonesia Riesqi Rahmadiyansyah
Riesqi menuding pemerintah mengakali kehidupan bernegara dengan mengangkangi fungsi dan wewenang lembaga perwakilan. Selain itu, kemudahan penjualan saham BUMN ini membuat BUMN akan bisa dimiliki swasta dan swasta asing secara mudah.