Ditjen Pajak: UU Bank Hambat Keterbukaan Informasi Keuangan
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mengaku masih kesulitan mengakses data nasabah perbankan yang merupakan wajib pajak. Keterbukaan informasi keuangan atau Automatic Exchange of Information (AEOI) pada 2018 pun sulit dilakukan, karena terhambat aturan dalam Undang-Undang (UU) Perbankan.
Direktur P2 Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan AEOI sangat sulit diterapkan tanpa adanya revisi UU Perbankan. Dalam aturan ini, Ditjen Pajak baru bisa membuka data perbankan setelah nasabah yang merupakan wajib pajak ini sudah masuk dalam tahap pemeriksaan.
(Baca: Banyak Aturan Perlu Direvisi Hadapi Pertukaran Data Keuangan Global)
Oleh sebab itu revisi UU Perbankan sangat penting untuk dapat masuk ke dalam AEOI tahun depan. Revisi tersebut akan memudahkan Ditjen Pajak mencari informasi dalam melakukan pengawasan terhadap wajib pajak. "Kami harapkan dalam revisi UU Perbankan akan jadi perhatian," kata Yoga di Gedung Ditjen Pajak, Jakarta, Senin (13/2).
Sebenarnya saat ini Ditjen Pajak telah menerapkan Aplikasi Pembukaan Rahasia Bank Secara Elektronik (Akasia) untuk memudahkan pengajuan pembukaan data nasabah perbankan. Melalui Akasia, Ditjen Pajak mengusulkan pembukaan data rahasia nasabah perbankan, terkait pemeriksaan pajak ke Menteri Keuangan.
Setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan, usulan ini diteruskan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Di pihak OJK juga terdapat sistem serupa bernama Aplikasi Buka Rahasia Bank (Akrab), untuk mempercepat proses pemberian izin atas surat permintaan Menteri Keuangan.
(Baca: Cegah Penghindaran Pajak, Pemerintah Didorong Barter Data Properti)
"Jadi nanti kalau udah disetujui, OJK akan langsung perintahkan bank terkait untuk membuka rekening bank nasabah itu," kata Direktur Penegakan Hukum Ditjen Pajak Dadang Suwarna saat konferensi pers di kantornya, Senin (13/2).
Dengan kedua aplikasi ini pengajuan pembukaan data nasabah menjadi lebih cepat, karena bisa dilakukan secara online melalui jaringan internet. Masalahnya, meski sudah ada kedua aplikasi ini, tetap tidak semua data nasabah yang merupakan wajib pajak, yang bisa diakses. Data nasabah perbankan yang bisa dibuka hanya untuk wajib pajak yang sedang dalam proses pemeriksaan
"Sedangkan AEOI itu (nantinya bisa) tanpa WP diperiksa, itu yang terhambat UU Perbankan saat ini," katanya di Gedung Ditjen Pajak, Jakarta, Senin (13/2).
Sebenarnya, dua tahun lalu pemerintah sudah mencoba membuka data nasabah bank. Direktur Jenderal Pajak bahkan telah mengeluarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-01/PJ/2015 tentang Penyerahan Bukti Potong Pajak atas Bunga Deposito. Aturan yang terbit pada 26 Januari 2015 ini mulai berlaku pada 1 Maret 2015.
(Baca juga: Pembayaran Pajak Rendah, OECD: Indonesia Peringkat 148)
Namun, baru dua pekan diterapkan, Menteri Keuangan memutuskan untuk mencabut aturan tersebut. Alasannya, tidak ada dasar hukum yang kuat bagi Ditjen Pajak terkait hal ini. Para pelaku perbankan pun sempat memprotes karena aparat pajak bisa mengetahui nilai simpanan deposito milik nasabah.
Lantaran merasa tak nyaman, para pemilik deposito bisa mencabut dana simpanannya dan menyimpannya di perbankan luar negeri. OJK juga sempat protes karena bertentangan dengan UU Perbankan, yang menegaskan data nasabah bersifat rahasia, kecuali untuk kepentingan pemeriksaan, penyidikan dan bukti permulaan.
Pakar perpajakan Universitas Indonesia Darussalam mengatakan kebijakan membuka data nasabah dimungkinkan, selama ada aturan dari instansi yang berwenang dan ada kepastian data tersebut tidak dibocorkan kepada pihak lain. “Ketika Ditjen Pajak meminta informasi itu harus jelas tujuannya apa,” ujarnya.
Dia juga menjelaskan hasil riset mengenai pentingnya membuka data perbankan untuk mendorong kepatuhan wajib pajak di 37 negara. Dari semua negara tersebut, 13 di antaranya mengadopsi pembukaan data nasabah secara otomatis.