Jonan Pilih Freeport Arbitrase Daripada Hembuskan Isu PHK
Hubungan pemerintah dengan PT Freeport Indonesia mulai memanas. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengomentari adanya wacana arbitrase yang akan dilakukan Freeport karena tidak puas dengan kebijakan baru pemerintah mengenai perubahan status kontrak.
Jonan memahami langkah hukum seperti membawa masalah sengketa ke arbitrase merupakan hak bagi siapa pun. Meski pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum karena akan berdampak bagi kedua belah pihak.
“Apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan,” katanya dalam pernyataan tertulis, Sabtu malam (19/2).
Namun, Jonan menganggap lebih baik jika Freeport mengajukan gugatan arbitrase daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan pemerintah. “Korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga, dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata."
(Baca: Chappy Hakim Mundur dari Presdir Freeport Indonesia)
Seperti diketahui, manajemen Freeport berencana mengurangi jumlah karyawan sejak pekan lalu. Rencana tersebut disampaikan kepada para karyawannya melalui sebuah memo internal bertanggal 11 Februari 2017. Alasannya, pabrik pengolahan sudah berhenti beroperasi sejak 10 Februari lalu. Operasi penambangan pun sudah terhenti sehingga jumlah karyawannya juga akan dikurangi.
Hal ini akibat mulai berlakunya larangan ekspor konsentrat sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 pada 12 Januari lalu. Dalam aturan itu, pemegang kontrak karya (KK), seperti Freeport dilarang mengekspor konsentrat sebelum mengubah status kontraknya menjadi Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK).
(Baca: Kementerian ESDM Tak Khawatir Ancaman Freeport PHK Karyawan)
Namun, Freeport menilai peraturan itu melanggar hak-hak Freeport dan Kontrak Karya (KK) yang sudah diteken sebelumnya. Freeport bersedia mengubah kontraknya menjadi IUPK dengan syarat adanya jaminan stabilitas investasi dengan kepastian hukum dan fiskal yang sama seperti tercantum dalam KK saat ini.
Sedangkan Jonan mengatakan pemerintah telah dan terus berupaya mendukung semua investasi di Indonesia baik asing maupun dalam negeri. Pemerintah juga tetap menghormati kontrak dengan berpegang pada Undang-undang Mineral dan Batubara Nomor 4 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017.
Atas dasar itu, semua pemegang Kontrak Karya, termasuk Freeport dapat melanjutkan usahanya dan tidak wajib mengubah perjanjian menjadi IUPK. Syaratnya, pemegang KK melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) dalam jangka waktu lima tahun sejak UU Minerba 4/2009 diundangkan, seperti yang tertuang dalam Pasal 169 dan pasal 170.
Faktanya, sampai saat ini ada pemegang kontrak karya seperti Freeport dan Amman belum melakukan hilirisasi. Untuk itu, pemerintah menawarkan kepada semua pemegang KK yang belum membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian smelter untuk mengubah kontraknya menjadi IUPK.
Dengan demikian sesuai Pasal 102-103 UU No 4/2009, mereka akan tetap mendapat izin melakukan ekspor konsentrat dalam jangka waktu lima tahun sejak PP No 1/2017 diterbitkan. Namun tetap wajib membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun. (Baca: Jokowi Teken Aturan Izin Ekspor Mineral dengan Tiga Syarat)
Perkembangan pembangunan smelter akan diverifkasi oleh verifikator independen setiap enam bulan. Jika perkembangan pembangunan tidak mencapai minimal 90 persen dari rencana maka rekomendasi ekspor akan dicabut.
Dari tawaran tersebut, menurut Jonan, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) menyatakan terima kasih atas persetujuan perubahan Kontrak Karya menjadi IUPK. Atas dasar itu Dirjen Minerba menerbitkan rekomendasi ekspor No 353/30/DJB/2017 pada Jumat 17 Februari 2017.
Berbeda dengan Amman, Freeport Indonesia menolak perubahan dari KK menjadi IUPK. Padahal sesuai hasil pembahasan bersama yang melibatkan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan PTFI, pemerintah telah memberikan hak yang sama di dalam IUPK seperti KK, selama masa transisi perundingan stabilitas investasi dan perpajakan dalam enam bulan sejak IUPK diterbitkan.
Selain itu, sesuai Pasal 169 Undang-Undang Nomor No 4 tahun 2009, stabilitas investasi memungkinkan untuk didapatkan. “Namun PTFI menyatakan tetap menolak IUPK dan menuntut KK tetap berlaku,” ujar Jonan.
Di sisi lain, Freeport juga mengajukan rekomendasi ekspor melalui surat No 571/OPD/II/3017 tanggal 16 Februari 2017 dengan menyertakan pernyataan komitmen membangun smelter. Sesuai IUPK yang telah diterbitkan, Dirjen Minerba pun menerbitkan rekomendasi ekspor untuk PTFI No 352/30/DJB/2017 pada 17 Februari 2017.
“Menurut informasi yang beredar PTFI juga menolak rekomendasi ekspor tersebut,” kata Jonan. (Baca: Berlaku Setahun, Freeport dan Amman Kantongi Izin Ekspor)
Jonan berharap kabar tersebut tidak benar karena pemerintah mendorong Freeport agar tetap melanjutkan usahanya dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi, termasuk perpajakan, dan izin. Hal ini yang akan dikoordinasi oleh Ditjen Minerba dan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Selain masalah perubahan KK menjadi IUPK dan ekspor, Jonan juga berharap Freeport tidak alergi dengan adanya ketentuan divestasi hingga 51 persen. Ini seperti yang tercantum dalam perjanjian KK yang pertama antara PTFI dan pemerintah, dan juga tercantum dengan tegas dalam PP No 1/2017.
Jonan mengakui, memang ada perubahan ketentuan divestasi di dalam KK yang terjadi di tahun 1991, yaitu menjadi 30 persen karena alasan pertambangan bawah tanah. Namun divestasi 51 persen adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo.
(Baca: Dukung Jonan, Luhut Minta Freeport Divestasi 51 Persen Saham)
Tujuannya agar Freeport dapat bermitra dengan pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik. Selain itu, menurut Jonan, rakyat Indonesia serta Papua khususnya, ikut menikmati sebagai pemilik tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia tersebut.