Membengkak, Defisit Jaminan Kesehatan Tahun 2018 Diramal Rp 10 Triliun
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mencatat defisit program jaminan kesehatan nasional terus membengkak. Tahun lalu, defisit mencapai Rp 9,7 triliun. Defisit diproyeksi bakal menembus Rp 10 triliun pada 2018 mendatang.
Ketua DJSN Sigit Priohutomo mengatakan, defisit terjadi lantaran iuran yang ditetapkan untuk penerima bantuan iuran (PBI) lebih rendah dari rata-rata klaim per orang per bulan. Di sisi lain, banyak peserta yang merupakan pekerja bukan penerima upah (PBPU) menunggak pembayaran iuran.
Ia menjelaskan, iuran PBI hanya sebesar Rp 23 ribu per orang per bulan. Nominal tersebut jauh di bawah rata-rata klaim yang hampir mencapai Rp 35 ribu per orang per bulan. Kondisi ini lantas menyumbang defisit cukup besar lantaran mayoritas peserta JSN merupakan PBI. (Baca juga: Jokowi: Rokok Pengeluaran Terbesar Kedua Masyarakat Miskin)
Di sisi lain, iuran peserta yang merupakan PBPU Kelas III juga hanya Rp 25 ribu, meski iuran peserta PBPU Kelas I dan II mencapai Rp 80 ribu dan Rp 51 ribu. Namun, kondisi ini tetap tak efektif mengurangi defisit. "Karena peserta PBPU tidak bisa diandalkan untuk membayar iuran secara rutin," ujar Sigit dalam Diskusi Publik 'inovasi Pendanaan JKN' di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Selasa (23/5).
Mengacu pada kondisi tersebut, ia pun menyadari, ada faktor lain yang menyebabkan defisit membengkak yaitu pola pengumpulan iuran yang tidak sehat dan kurang optimal. Sigit pun memaparkan, pada awal terselenggaranya program JKN, defisit telah mencapai Rp 3,3 triliun, lalu membengkak menjadi Rp 5,7 triliun pada 2015, dan mencapai Rp 9,7 triliun pada 2016. (Baca juga: Bappenas Ingin Pekerja Informal Mendapat Jaminan Pensiun)
Ketua Center for Health Economics and Policy Studies FKM Universitas Indonesia (CHEPS FKM UI) Hasbullah Thabrany berpendapat, salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah menambah peserta yang merupakan pekerja penerima upah (PPU). PPU berasal dari swasta, BUMD, PNS, TNI, dan Polri.
"JKN itu persoalannya bukan karena belanja yang terlalu banyak, tetapi pendapatannya yang terlalu kecil," ujar dia. "Yang paling realistis itu tambah peserta PPU agar proporsinya menjadi lebih besar.”
Adapun hingga Mei ini, ia merinci total peserta JKN sudah mencapai 176,7 juta jiwa. Jumlah itu terdiri dari peserta penerima bantuan iuran (PBI) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 92 juta, PBI daerah 17 juta, bukan pekerja 5 juta, pekerja bukan penerima upah (PBPU) 21 juta, dan pekerja penerima upah (PPU) 40,2 juta.
"Kalau dilihat komposisi peserta, yang berasal dari penduduk miskin dan tidak mampu mencapai 109 juta atau 62 persen dari total perserta. Sementara porsi PPU yang rutin membayar iuran hanya 40,2 juta atau 23 persen," kata Hasbullah. Adapun, sebanyak 58 persen peserta PBPU menunggak iuran sebesar Rp 2 triliun, tahun lalu.
Hasbullah menambahkan, potensi pendapatan juga bisa diperoleh dari penduduk berpendapatan yang masih belum berkontribusi besar dalam pendanaan publik. Namun, bila peningkatan peserta PPU dan kontribusi penduduk berpendapatan tinggi sulit dicapai, ia menilai pemerintah harus menggali sumber dana lainnya seperti pajak atau cukai rokok. Selain itu, bisa juga menaikkan batas upah, memasukan komponen tunjangan dalam perhitungan upah, dan sumber lainnya.