Kenaikan Harga Pangan Jelang Puasa Picu Inflasi Tinggi Mei 0,39%
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama bulan Mei lalu terjadi inflasi sebesar 0,39 persen atau lebih tinggi dibandingkan Mei 2016 yang sebesar 0,24 persen. Alhasil, inflasi tahun kalender (Januari-Mei 2017) sebesar 1,67 persen dan secara tahunan (year on year) 4,33 persen atau lebih tinggi dari tahun lalu yang cuma 3,33 persen. Penyebab utama inflasi tinggi pada Mei lalu adalah kenaikan harga pangan menjelang bulan Ramadan.
Dari 82 kota yang dipantau BPS, sebanyak 70 kota mengalami inflasi dan hanya 12 kota mengalami deflasi. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, inflasi pada Mei 2017 dipicu oleh kenaikan seluruh indeks kelompok pengeluaran. Kenaikan tertinggi terjadi pada bahan makanan sebesar 0,86 persen.
“Komoditas yang dominan andilnya adalah bawang putih sebesar 0,08 persen," katanya dalam konferensi pers mengenai inflasi Mei 2017 di gedung BPS, Jakarta, Jumat (2/6). (Baca: Terancam Harga Bawang Putih, Inflasi Diyakini Aman Hingga Lebaran)
Menurut dia, harga bawang putih pada pekan ke-4 sebenarnya sudah turun karena adanya intervensi pemerintah. Intervensi dilakukan karena harga bawang putih naik pada minggu ke-2 dan ke-3 Mei lalu. "Tapi karena kita bicara selama satu bulan penuh maka ini menunjukan kenaikan (harga bawang putih),” ujarnya.
Komoditas lain yang mengalami kenaikan harga dan memberi andil inflasi antara lain, telur ayam ras sebesar 0,05 persen, daging ayam ras 0,04 persen, daging sapi dan cabai merah masing-masing 0,01 persen.
Namun, kenaikan ini terkompensasi oleh deflasi pada tiga komoditas. Harga cabai rawit turun 0,04 persen, bawang merah 0,02 persen, dan tomat sayur 0,01 persen. (Baca: Menko Ekonomi Targetkan Harga Pangan Terkendali Selama Ramadan)
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo mengungkapkan survei BI hingga minggu ketiga Mei 2017 mencatat inflasi mencapai 0,3-0,4 persen. Penyebab utama inflasi yakni kenaikan harga daging dan telur ayam, serta beberapa komoditi holtikultura. Namun, kondisi ini biasa terjadi saat Ramadan.
Meski level inflasi naik, menurut Agus, target inflasi tahunan yang sebesar 3-5 persen diyakini masih bisa tercapai.
Di sisi lain, berdasarkan kelompok pengeluaran yang menyumbang inflasi terbesar adalah kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau sebesar 0,38 persen. Selain itu, kelompok kesehatan 0,37 persen, kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,35 persen.
Suhariyanto mengungkapkan, komoditas paling dominan di kelompok perumahan sebagai penyebab inflasi adalah penyesuaian tarif listrik untuk rumah tangga kelompok 900 VA. "Karena ada kebijakan reformasi subsidi di sana 18,9 juta rumah tangga sekarang dialihkan (dicabut subsidinya),” katanya.
Kontribusi kenaikan tarif listrik tercermin dari angka inflasi pada Mei 2017 berdasarkan kelompok komponen. Inflasi komponen harga yang diatur pemerintah (administered price) pada Mei 2017 sebesar 0,69 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) 147,94 atau lebih tinggi dari Mei 2016 yang sebesar 135,55. Andil komponen ini terhadap inflasi Mei 2017 sebesar 0,14 persen.
Adapun, inflasi harga bergejolak sebesar 0,91 persen dengan andil 0,16 persen. Sedangkan komponen inti mengalami inflasi sebesar 0,16 persen, dengan tingkat inflasi tahun kalender 1,33 persen dan tahunan sebesar 3,20 persen. (Baca: BI Catat Inflasi Pekan III Mei Naik, Terdorong Harga Daging dan Telur)
Suhariyanto memprediksi, inflasi pada kelompok bahan makanan akan terus terjadi pada Juni ini. Sebab, selama bulan puasa dan lebaran hampir dipastikan terjadi lonjakan permintaan yang ujungnya menggerek harga.
Namun, dia berharap berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dapat meredam kenaikan harga pangan. Beberapa upaya itu adalah penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) sembilan bahan kebutuhan pokok, Peraturan Menteri Perdagangan 20/2017 tentang pendaftaran distributor, dan Permendag 30/2017 tentang impor holtikultura. “Dengan berbagai upaya ini kami harapkan harganya masih terkendali."