Ditjen Pajak Usul Penjara 5 Tahun Bagi Pembocor Data Wajib Pajak
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mengusulkan hukuman penjara lima tahun bagi siapa saja yang membocorkan data wajib pajak. Usulan ini untuk memberi jaminan keamanan data wajib pajak.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi untuk Kepentingan Perpajakan, memberi keistimewaan kepada Ditjen Pajak data wajib pajak terutama dari sisi keuangan. Maka dari itu, Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi menilai perlu adanya sanksi tegas bagi pelaku yang membocorkan data wajib pajak.
"Selama ini kami bisa membuka rekening (wajib pajak), tapi dengan izin Menteri Keuangan. Sekarang bisa langsung (tidak perlu izin). Kalau sampai dibocorkan data ini, sanksinya diperberat jadi lima tahun sama seperti pengampunan pajak (tax amnesty)," kata dia saat Rapat Panitia Kerja (Panja) dengan Badan Anggaran (Banggar) di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (7/6).
(Baca: Tahun Depan, Total Rekening Bank di Atas Rp 200 Juta Dipantau Pajak)
Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) diatur larangan membocorkan informasi yang diberikan wajib pajak. Pasal 41 UU KUP menyebutkan sanksi pidana kurungan paling lama setahun dan denda paling banyak Rp 4 juta bagi pejabat yang tidak memenuhi kewajiban merahasiakan informasi tersebut.
Selain menambah hukuman pembocor data wajib pajak, Ken juga mengusulkan peningkatan sanksi bagi penggelap pajak. Adapun saat ini hukumannya hanya pidana kurungan dua tahun dan denda maksimal Rp 10 juta.
"Hukuman penggelapan pajak juga lima tahun, jadi equal (setara)," ujar Ken. Usulan ini rencananya akan dimasukkan dalam pembahasan revisi UU KUP yang saat ini sedang dikaji oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
(Baca: Buru Dana Gelap, Menkeu Kebut 4 Aturan Keterbukaan Data Nasabah)
Ken menegaskan bahwa instansinya akan mengoptimalkan pelaksanaan pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) terkait pajak. Terutama dalam upaya meningkatkan penerimaan negara. Hal ini sesuai dengan arah kebijakan tahun depan, mengingat Indonesia akan menjalani AEoI mulai September 2018.
Dia menjelaskan empat poin utama yang akan dilakukan terkait hal ini. Pertama, menyusun kebijakan perpajakan internasional yang mendukung transparansi informasi perpajakan dan menghapus praktik penghindaran pajak antarnegara. Kedua, memperkuat sistem informasi perpajakan sesuai hasil kesepakatan AEoI.
Ketiga, melaksanakan praktik perpajakan yang lazim diterapkan secara internasional, terkait akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Keempat, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dalam rangka memperkuat penyusunan kebijakan dan administrasi perpajakan internasional.