Pemerintah Siapkan Aturan Terkait Stabilitas Investasi Freeport
Pemerintah tengah menyiapkan regulasi mengenai stabilitas investasi perusahaan tambang. Stabilisasi ini merupakan salah satu hal yang dirundingkan dalam negosiasi antara PT Freeport Indonesia dan pemerintah.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Teguh Pamudji mengatakan tim dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) telah membuat perkiraan besaran penerimaan antara status Freeport berbentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan kontrak karya. Hasilnya, bentuk IUPK memberikan penerimaan negara lebih besar.
(Baca: Adu Kuat Jonan dan Freeport Soal Perpanjangan Operasional)
Namun, mengenai stabilitas investasi, masih dibahas terkait ketentuan pajak daerah dan retribusi daerah yang ideal. Hal ini nantinya akan dituangkan dalam satu paket regulasi. “Tadi sudah disepakati, karena semangatnya ke depan untuk menyusun Peraturan Pemerintah yang terkait dengan satu paket regulasi, akan difasilitasi oleh Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian ESDM,” kata Teguh berdasarkan keterangan resminya, Rabu (26/7).
Selain kepastian investasi, sebenarnya ada tiga hal lain yang masuk perundingan. Ketiga hal itu adalah, kelanjutan operasi, pembanguanan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), dan divestasi saham.
Terkait divestasi, saat ini masih disusun formulasi agar pembelian saham PTFI dapat dilakukan seketika, dimana perhitungan nilai pasarnya (market value) dilakukan oleh Appraisal Independen. Kini uji tuntas (due dillegence) termasuk aspek legal dan lingkungan juga sedang dievaluasi. “Kami akan meminta kepada PTFI secara bersama-sama menunjuk independent evaluator menghitung nilai saham (dengan) tidak menghitung cadangan,” kata Teguh.
Mengenai status hukum, menurut Teguh, Freeport sudah sepakat untuk mengubahnya menjadi IUPK dari sebelumnya KK. IUPK yang akan diterbitkan ini akan berlaku sampai tahun 2021, bersamaan dengan berlakunya Kontrak Karya sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“PTFI sudah sepakat nanti bentuk landasan hukum hubungan kerja pemerintah dan PTFI adalah dalam bentuk IUPK bukan lagi KK,” ujar Teguh. (Baca: BPK: Potensi Kerugian Negara Akibat Tambang Freeport Rp 185 Triliun)
Sementara isu kelanjutan operasi dan pembangunan smelter, menurut Teguh juga telah ada titik temu antara Pemerintah dengan PTFI. Sesuai PP Nomor 1 Tahun 2017, pemegang IUPK berhak mengajukan perpanjangan 2 kali 10 tahun dengan memenuhi persyaratan.
Sedangkan terkait pembangunan smelter, PTFI sepakat untuk membangun smelter dan selesai dalam 5 tahun atau paling lambat awal tahun 2022. Ini akan dievaluasi setiap enam bulan. “Apabila perkembangan smelter tidak sesuai rencana, rekomendasi eskpor (konsentrat) dapat saja dicabut,” ujar Teguh.
Meskipun dua isu terkait kelangsungan operasi dan pembangunan smelter telah menemukan titik temu, perundingan masih berlangsung. Pekan depan ini sudah dijadwalkan akan ada rapat koordinasi kembali antara Kementerian ESDM dengan kementerian terkait.
Namun, Juru Bicara Freeport Riza Pratama mengatakan pihaknya setuju mengubah KK menjadi IUPK dengan disertai perjanjian stabilitas. Ia berharap perusahaannya mendapatkan perpanjangan operasi sampai dengan 2041.
(Baca: Freeport Tolak Skema Perpanjangan Operasional Versi Pemerintah)
Alasannya perusahaannya akan berinvestasi jangka panjang di tambang bawah tanah tersebut. "Sehingga kami dapat melanjutkan investasi tambang bawah tanah sebesar US$ 15 miliar dan pembangunan smelter sebesar US$ 2,3 miliar serta divestasi," ujar dia kepada Katadata, Rabu (26/7).