LIPI Usul Konsep Tol Laut Perlu Diubah Agar Lebih Efektif
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Panky Tri Febiyansyah mengatakan penerapan tol laut yang dicanangkan pemerintah sejak 2015 lalu masih belum optimal. Pasalnya, biaya distribusi logistik di Indonesia masih cukup besar dan belum bisa menekan adanya disparitas harga antarwilayah.
Panky mengatakan kondisi mahalnya biaya logistik masih disebabkan karena waktu bongkar muat barang (dwelling time) di pelabuhan masih lama, belum mencapai target dua hari. Berdasarkan data PT Pelindo II (Persero) dan hasil diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan yang dilakukan LIPI, angka dwelling time di pelabuhan Pelindo II, hingga Juli 2017 masih berada di kisaran 3-4 hari.
Waktu tersebut, kata Panky, berimplikasi terhadap biaya logistik di darat. Apalagi waktu kapal menunggu di laut juga menghabiskan dana tambahan. "Posisi kapal di laut itu kan dia tidak mati (mesinnya) sehingga akan memakan biaya tambahan jika waktu dwelling time lama," kata Panky di kantornya, Jakarta, Jumat (25/8).
(Baca: Tekan Disparitas Harga, 7 Anak Pelindo II Bangun Sinergi BUMN)
Panky mengatakan kondisi ini tidak sepenuhnya kesalahan regulator dan operator yang mengurusi pelabuhan. Pihak pelaku usaha pun ikut andil atas lamanya dwelling time di pelabuhan. Sebab, menurut pengakuan Pelindo II, pelaku usaha kerap lalai dalam mengurusi administrasi kapal untuk bisa bersandar di pelabuhan. Hal ini pun menjadikan waktu kapal untuk bersandar menjadi terhambat.
Selain itu, kesenjangan aktivitas ekonomi antarpulau juga mengakibatkan bengkaknya biaya distribusi logistik. Berdasarkan data LIPI tahun 2016, masih terdapat kesenjangan aktivitas ekonomi antara Jawa dengan wilayah lainnya, seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Aktivitas ekonomi di Jawa untuk kebutuhan primer mencapai 60%. Sementara, di wilayah Sulawesi angkanya hanya mencapai 20,96% dan Nusa Tenggara mencapai 8,71%. Adapun aktivitas ekonomi di Kepulauan Maluku dan Papua mencapai 10,17%.
Menurut Panky, kesenjangan tersebut membuat kapal kerap menambah biaya ketika mendistribusikan barang ke wilayah yang aktivitas ekonominya masih belum tinggi. Pasalnya, kapal tak bisa mengangkut barang lebih banyak untuk didistribusikan di wilayah tersebut. "Kalau hanya tol laut, barang ada, uang enggak," kata Panky.
(Baca: Lelang Dua Rute Tol Laut Sepi Peminat)
Mahalnya biaya distribusi juga disebabkan belum terintegrasinya sistem logistik nasional. Peningkatan infrastruktur jalan nasional, jalan desa, dan pelayaran rakyat belum optimal. Hal ini membuat akses distribusi ke wilayah di daratan tersendat. Alhasil, distribusi kerap berganti moda transportasi yang kemudian bisa menambah biaya.
Oleh karena itu, dia meminta pemerintah memperluas konsep tol laut melalui perspektif door - port to port - door. Dengan konsep ini, pembangunan tol laut juga akan mempertimbangkan aspek lain sehingga tol laut lebih efektif menekan biaya transportasi logistik dan mendorong pemerataan ekonomi.
Panky menjelaskan aspek lain yang harus dipertimbangkan, yakni terkait peningkatan keahlian pelaku usaha. Hal ini dilakukan agar para pelaku memahami aturan administrasi dan mempercepat dwelling time di pelabuhan. "Caranya memasukkan kurikulum dalam pendidikan vokasi dan jangka pendeknya melalui pelatihan di LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) yang fokus dalam sistem logistik," kata Panky.
Dia juga menyarankan pemerintah untuk meningkatkan aktivitas ekonomi di seluruh wilayah Indonesia, sehingga distribusi barang dapat lebih seimbang dan menekan biaya logistik. Pemerintah juga diminta meningkatkan pembangunan infrastruktur di daerah pemberdayaan pelayaran rakyat. Hal ini dapat dilakukan melalui realokasi dana kepada pemda dan desa agar pembangunan infrastruktur dapat lebih sesuai kebutuhan akses masyarakat.
Sehingga, nantinya sistem logistik nasional dapat terintegrasi."Di situ perlunya ada koordinasi yang kuat antara pusat, provinsi, kabupaten, dan desa," ujar Panky. (Baca: Dikenal Investor, Pelabuhan Belang-belang Masuk Jalur Tol Laut)