Investor Asing Cemas Soal Divestasi, Harga Saham Freeport Turun 2%
Kesepakatan perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia menuai respons negatif dari para investor asing. Harga saham induk usaha Freeport, yaitu Freeport Mc-Moran Inc., turun 2% karena investor khawatir perusahaan Amerika Serikat itu kehilangan kontrolnya pada tambang di Papua tersebut dan risiko pembengkakan biaya.
Pada perdagangan di bursa saham New York, Selasa (29/8) waktu setempat atau Selasa malam waktu Indonesia, harga saham Freeport sempat turun 5,7% menjadi US$ 14,64 per saham. Namun, belakangan harga saham berkode FCX ini mulai bergerak naik hingga ditutup di level US$ 15,21 per saham atau turun 2,06% dari hari sebelumnya.
(Baca: Wawancara Khusus Jonan: Prinsip Presiden, Freeport Tak Bisa Ditawar)
Penurunan harga saham FCX itu menyusul pengumuman kesepakatan yang dicapai Indonesia dengan Freeport pada Selasa siang. Dalam kesepakatan tersebut, Freeport bersedia melakukan divestasi 51% sahamnya kepada Indonesia. Artinya, Freeport masih akan melepas 41,64% saham agar kepemilikan Indonesia bisa mencapai 51%.
“FCX akan setuju melakukan divestasi kepemilikannya di PTFI berdasarkan harga pasar yang wajar. Divestasi ini akan diatur sehingga FCX akan tetap memegang kendali atas operasi dan tata-kelola PTFI,” dikutip berdasarkan keterangan resmi Freeport, Rabu (30/8).
Di sisi lain perusahaan juga akan berkomitmen mengalokasikan dana investasi hingga US$$ 20 miliar sampai tahun 2031. Dana itu untuk mengembangkan aset lebih lanjut, termasuk menyelesaikan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) dalam waktu lima tahun ke depan atau paling lambat 2022.
Analis dari Vertical Research Partners Mike Dudas menghitung harga saham Freeport Indonesia lebih dari US$ 11 miliar. Jadi harga yang adil untuk melepas kepemilikan Freeport Mc-Moran hingga 49% adalah sekitar US$ 5 miliar.
Namun, Analis Clarksons Platou Securities Inc Jeremy Sussman mengatakan saat ini kedua belah pihak berada pada tahap menghitung nilai 51% saham. “Ini akan sulit mengharapkan pemerintah membayar nilai wajar," kata dia dikutip dari Bloomberg, Rabu (30/8).
Menurut dia, meski mendapat kepastian investasi jangka panjang berupa kesempatan memperpanjang kontrak hingga tahun 2041, Freeport akan tetap mengeluarkan dana lebih besar dari perkiraan setiap tahunnya. Sebab, mereka harus mengeluarkan dana sekitar US$ 17 miliar hingga US$ 20 miliar untuk pembangunan smelter.
Kesepakatan itu juga masih menyisakan ketidakpastian karena pemerintah dan Freeport belum menuntaskan pembahasan mengenai harga dan waktu divestasi. Kesepakatan akhir mengenai hal itu perlu didokumentasikan dan disetujui dewan direksi dan mitra Freeport-McMoran.
(Baca: Negosiasi Selesai, Freeport Sepakati 5 Poin Sesuai Instruksi Jokowi)
Hingga adanya persetujuan tersebut, menurut analis dari Stifel Nicolaus & Co, Paul Forward, FCX akan dilanda ketidakpastian yang signifikan terhadap masa depan tambang Grassberg di Papua. “Kami memperkirakan bahwa proses rincian itu akan sangat panjang,” ujar dia.
Selain masalah penentuan nilai wajar, Forward menilai masih ada ketidakjelasan mengenai izin ekspor konsentrat tembaga yang akan berakhir Oktober nanti. Sebaliknya, Sussman menafsirkan kesepakatan itu sebagai tanda izin ekspor akan terus diperpanjang.
Di satu sisi, kesepakatan ini akan meningkatkan pamor Presiden Joko Widodo yang ingin mencalonkan diri kembali pada pemilu 2019. Sementara bagi Freeport, kesepakatan ini melegakan setelah kegiatan operasinya tertaih karena perselisihan izin sejak Januari lalu.
(Baca: Setuju Divestasi 51% Saham, Bos Freeport Hargai Kepemimpinan Jokowi)
Sementara itu, Analis Argonaut Securities Asia Pty Helen Lau mengatakan masih terlalu awal menilai Freeport menyerah atau tidak dari kesepakatan tersebut. Apalagi, Freeport mengetahui tambang ini dengan sangat baik dan paham untuk mempertahankan dengan biaya rendah dalam jangka panjang. “Dengan menyetujui kesepakatan ini Freeport berpotensi mendapatkan keuntungan selama 20 tahun,” ujar dia.