Dee Curhat Soal Royalti Penulis, Beberkan Ketidakadilan Pajak
Enam belas tahun sudah penyanyi Dewi Lestari alias Dee banting setir menjadi penulis. Tak terhitung berapa banyak cerita yang sudah ia dengar tentang kasus penulis dikadali penerbit, juga penulis yang harus sibuk cari pekerjaan sampingan karena tidak bisa mengandalkan royalti bukunya.
Secara ekonomi, Dee mengakui, penulis adalah profesi yang menantang. Diskusi antarpenulis soal royalti kerap berujung pada kesepakatan bersama bahwa menulis adalah urusan kepuasan batin sebab membahas royalti terlalu menyakitkan. Dalam tulisan yang diunggah ke halaman Facebook -nya, ia pun membeberkan ketidakadilan yang dirasakan para penulis.
(Baca juga: Tere Liye Keluhkan Pajak, Pengamat: Pajak Royalti Penulis Buku Kejam)
“Genggamlah sebuah buku dan bayangkan bahwa 90% dari harga banderol yang Anda bayar adalah untuk aspek fisiknya saja. Hanya 10% untuk idenya,” kata Dee dalam tulisan yang diunggah pada Kamis (7/9). Syukur-syukur penulis memiliki daya tawar, sehingga bisa mendapat royalti antara 12,5-15%.
Dee menjelaskan, potongan kue kecil royalti yang sebesar 10-15% tersebut tak semuanya diterima penulis. Sebab, langsung dipotong pajak royalti sebesar 15%. “Tak peduli kami hidup seperti burung hantu, wara-wiri untuk riset, merogoh kocek untuk 365 cangkir kopi per tahun, atau apa pun juga. It’s done deal,” ujarnya.
(Baca juga: Sri Mulyani Carikan Solusi Soal Pajak Royalti Penulis)
Belum selesai sampai di situ, penulis harus memasukkan penghasilannya dari royalti ke dalam pendapatan tahunan sebagai pendapatan kena pajak. Di situ, penulis harus menghadapi hitungan pajak berjenjang. Dengan demikian, pendapatan dikenai pajak dua kali.
Penulis buku laris Supernova itu kemudian membandingkan dengan suaminya yang berprofesi sebagai praktisi kesehatan. Karena profesinya, sang suami mendapatkan keringanan pajak yaitu bisa menggunakan rumus norma sebesar 30%. Artinya, dari total pendapatannya, sang suami cukup memasukkan 30% untuk dikenai pajak. “Sisanya dianggap sebagai modal usahanya sebagai praktisi kesehatan,” kata dia.
(Baca juga: Tere Liye Protes, Dirjen Pajak Klaim Pajak Royalti Penulis Tak Berat)
Ia pun berpikir kenapa tidak ada norma untuk profesi penulis? Ia mengaku sempat mengusulkan keringanan pajak penulis kepada Presiden Joko Widodo dalam suatu acara di 2015. Setahun setelah pertemuan itu, ia mendapat kabar baik dari Pengamat Pajak Yustinus Prastowo bahwa akan ada norma untuk penulis. Besarannya: 50%. “Not bad, pikir saya. Daripada tidak sama sekali,” kata dia.
Kabar baik soal keringanan pajak itu pun ia sebarkan ke rekan-rekannya sesama penulis. Namun, harapan untuk mendapat keringanan pajak pupus lantaran beberapa penulis melaporkan, pemakaian norma mereka ditolak oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat. Penyebabnya, norma hanya berlaku untuk pendapatan non-royalti, bukan royalti. Padahal, pendapatan utama penulis dari royalti.
Pendapatan dari royalti dianggap penghasilan pasif sehingga tidak layak memanfaatkan rumus norma. “Penulis dianggap tidak keluar modal. Biaya kertas, percetakan, distribusi, dan sebagainya, adalah modal penerbit. Terkecuali jika penulis menerbitkan sendiri karyanya, barulah ia dianggap keluar modal,” kata Dee.
Masalahnya, buku tidak menulis dirinya sendiri. Dee menerangkan, dirinya bisa bekerja setahun penuh untuk menyelesaikan bukunya. Setelah itu, menjalani program promosi berupa launching, booksigning, jumpa pembaca, dan lainnya.
“Di Inggris, penulis macam saya termasuk kategori pekerja lepasan, dan untuk itu pendapatannya dianggap sebagai pendapatan aktif. Namun, di mata perpajakan kita, semua yang saya lakukan itu adalah upaya pasif,” ujarnya.
Di sisi lain, Dee pun mempertanyakan, bila pendapatan royalti dianggap penghasilan pasif, kenapa tidak diperlakukan sama dengan bunga deposito yang adalah pemasukan pasif. Bunga deposito dikenakan pajak final. Artinya, urusan pajak penulis selesai setelah pendapatan royaltinya dipotong pajak royalti 15%.
Ia pun memberikan dua masukan solusi untuk pajak penulis. Pertama, jika royalti tetap dianggap penghasilan pasif, maka perlakukanlah pajaknya seperti pemasukan pasif, yaitu pajak final. Kedua, Jika royalti bisa dipertimbangkan sebagai penghasilan aktif, maka beri pilihan penggunaan norma pada seluruh pendapatan penulis tanpa kecuali.
Secara pribadi, Dee pun mengaku lebih memilih solusi pertama. “Jika para kreator diberi keleluasaan seperti itu, negara benar-benar dapat menghadirkan atmosfer kondusif bagi para penemu dan insan kreatif yang pekerjaannya mencipta, termasuk penulis,” ujarnya.
Sebelumnya, besarnya beban pajak penulis membuat penulis Tere Liye memutus kontrak dengan dua penerbit besar yaitu Gramedia Pustaka Utama dan Republika untuk penerbitan 28 judul bukunya. Ia memilih menyebarkan tulisannya melalui media sosial ataupun akses lainnya. Langkah tersebut diambil sebagai bentuk protes kepada pemerintah. (Baca juga: Selesai Jadi Menteri, Sri Mulyani Ingin Jadi Penulis Novel)
Dianing Widya Yudhistira, penulis novel, cerpen dan antologi puisi juga berharap pemerintah meringankan beban pajak para penulis. "Kami sering mengeluh, sudah pendapatan terbatas tapi dipotong sebagai pendapatan pasif," kata Dianing saat dihubungi Katadata, Jumat (8/9).
Menurut dia, sangat jarang penulis bisa mengandalkan royalti buku untuk kebutuhan hidup. Royalti diterima penulis dari penerbit setiap enam bulan sekali. Untuk membiayai hidup, penulis kerap merangkap pekerjaan lain. "Saya usaha kecil-kecilan di rumah," ucapnya.
Besaran royalti kepada penulis hampir sama sebesar 10% dari harga buku, tak ada yang menerima lebih dari ini. "Kecuali Pramoedya Ananta Toer yang dikabarkan mendapat 15% dari penerbit," kata dia.
Bahkan, untuk penulis pemula dan anak-anak, royalti yang diberikan hanya sekitar 5% dari harga jual buku. "Alasan penerbit untuk biaya promosi," ucapnya.