Asosiasi Klaim E-Commerce Belum Siap Dikenai Pajak
Pemerintah tengah menggodok aturan pajak penjualan digital melalui e-commerce. Namun, para pelaku industri yang tergabung dalam Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menyatakan bahwa rencana ini masih terlalu prematur.
Kepala Divisi Pajak, Infrastruktur, dan Keamanan Siber idEA Bima Laga menyatakan, e-commerce adalah bisnis yang baru berkembang dan belum siap dipajaki. “Kesiapan kami tergantung pemerintah yang menciptakan iklim untuk penjualan digital,” kata Bima saat dihubungi Katadata, Rabu (4/10).
idEA telah melakukan survei ke beberapa kota besar di Indonesia, hasilnya adalah pelaku e-commerce dengan media formal di Indonesia masih sekitar 40%. Media yang termasuk formal adalah market place yang terdaftar.
Sedangkan sektor informal, seperti penjualan melalui media sosial dan situs pribadi, jumlahnya lebih banyak, sekitar 60%. Sehingga pengenaan pajak selain tidak tepat guna, bakal membuat lebih banyak pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang meninggalkan market place menuju media sosial dan situs pribadi.
Jika itu terjadi, menurut Bima, pemerintah sendiri akan rugi karena keberadaan pengusaha digital akan menyebar secara sporadis dan sulit terdata. Sementara tanpa basis data yang akurat, pemerintah akan lebih sulit membuat kebijakan yang tepat untuk mengatur e-commerce.
Dia menyesalkan sikap pemerintah yang menetapkan pajak tanpa berdiskusi dengan pelaku e-commerce. “Keputusan pajak masih satu pihak, kami akan menyurati Direktorat Jendera Pajak (DJP),” ujar Bima.
Menurutnya, DJP telah membebankan pajak kepada e-commerce lewat PPn pelaku UMKM. Disinsentif seperti pertambahan pajak disinyalir bakal menghambat pertumbuhan transaksi digital. Padahal, pemerintah punya target besar dalam Roadmap E-Commerce 2020.
Desas-desus yang beredar, DJP bakal mengenakan pajak sebesar 1% untuk transaksi perdagangan digital dan 1% lagi kepada penjual yang terdaftar di marketplace. “Gosipnya sih begitu,” kata Public Relation idEA Rieka Handayani.
Sementara, pengamat teknologi dan informasi Heru Sutadi mengungkapkan pengenaan pajak di tingkat perusahaan digital masih wajar. Namun, dia menentang jika terbit aturan yang memberatkan pelaku UMKM.
Menurutnya, pemerintah harusnya membenahi sistem perpajakan untuk perusahaan digital luar negeri yang memanfaatkan pasar Indonesia. Selain itu, perlu juga ada tindakan untuk mendukung pertumbuhan e-commerce lokal.
“Saya pikir DJP belum memperlihatkan posisi yang jelas terhadap kemajuan e-commerce,” tutur Heru. Pasalnya, peraturan mengenai transaksi digital belum diatur secara jelas. Sehingga, pengenaan pajak berpotensi membuat iklim usaha lesu.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan sedang dalam persiapan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan soal pajak e-commerce. Dalam rancangannya, pengenaan tarif pajak e-commerce akan berada di bawah tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau di bawah 10%.