Memahami Klitih, Sejarah, Perkembangan, dan Dampaknya
Belakangan ini marak terjadi aksi klitih di Kota Yogyakarta. Banyak korban yang mengalami luka, bahkan beberapa diantaranya meregang nyawa.
Klitih adalah fenomena kekerasan menggunakan senjata tajam yang dilakukan sekelompok orang dengan mengendarai sepeda motor. Aksi klitih biasanya dilakukan lebih dari satu orang dan menggunakan senjata tajam, seperti digunakan pedang, golok, dan gir sepeda motor yang telah dimodifikasi.
Klitih umumnya terjadi di malam hari. Para pelaku klitih biasanya menyusuri ruas jalan yang sepi atau tempat nongkrong, seperti warung bubur kacang ijo (burjo) atau warung kopi. Penggunaan senjata tajam seringkali menimbulkan luka parah, bahkan kematian.
Sejarah Klitih
Sosiolog kriminal Universitas Gadjah Mada, Drs. Soeprapto, S.U. melalui kanal Youtube "UGM Channel" menjelaskan, kata klitih berasal dari bahasa Jawa klitah-klitih yang artinya “kegiatan mengisi waktu luang” yang bersifat positif, seperti kegiatan menjahit, membaca, dan sebagainya.
Namun, kata klitih di kalangan remaja berkembang menjadi kegiatan mencari musuh dengan naik sepeda motor berkeliling kota. Drs. Soeprapto, S.U. mengungkapkan, sejarah klitih berawal pada tahun 2007-2009.
Saat itu, pemerintah Yogyakarta membuat kebijakan di sekolah-sekolah bahwa pelajar yang terlibat tawuran akan dikembalikan ke orang tua, baik dalam wujud skorsing maupun dikeluarkan.
Kebijakan tersebut berdampak pada terkekangnya para pelajar, terutama mereka yang hidup dalam kondisi rumah yang tidak kondusif, mengalami kekecewaan, atau merasa bosan karena tidak ada kegiatan.
Para pelajar ingin melampiaskan kekecewaan sehingga mereka berkumpul dan mengendarai sepeda motor berkeliling kota untuk mencari musuh. Pemilihan musuh tidak dilakukan secara acak. Musuh yang dijadikan target adalah sesama pelajar, khususnya sekolah tertentu yang dilihat dari lambang di baju seragam sekolah.
Kegiatan mengendarai sepeda motor dan berkeliling kota untuk mencari musuh kemudian menjadi fenomena klitih versi pelajar. Saat itu, klitih biasanya dilakukan di sekitar awal tahun ajaran baru.
Perkembangan Klitih
Drs. Soeprapto, S.U. menjelaskan, perkembangan klitih berawal dari sekelompok pelajar membentuk geng yang terorganisir dengan struktur inti yang terdiri dari ketua, wakil, bendahara, dan anggota.
Kemudian organisasi inti tersebut berkembang menjadi ‘organisasi inti plus’ dengan para alumni sekolah turut menjadi anggota. Para alumni tersebut sebelumnya juga terlibat aksi klitih saat masih sekolah. Setelah kelulusan, mereka masih berpartisipasi dalam kelompok yang berisi adik-adik kelas mereka.
Para alumni berperan untuk mengkader dan mendidik anggota geng klitih. Kegiatan mendidik dan mengkader tersebut dapat dimanfaatkan oleh kelompok lain, sehingga muncul ‘organisasi inti plus plus’ yang turut melibatkan kelompok preman yang melakukan rekrutmen dan seleksi. Sejak saat itu, anggota geng klitih dan musuh yang dipilih tidak terbatas pada pelajar saja.
Sasaran Korban Klitih
Sasaran korban klitih ternyata tidak sembarang orang. Geng klitih menetapkan aturan spesifik dan tidak akan menyerang korban yang sekiranya tidak bisa dijadikan musuh.
“Mereka punya aturan main. Mereka tidak akan menyerang perempuan, mereka tidak akan menyerang orang tua. Mereka tidak akan menyerang laki-laki dan perempuan yang sedang berboncengan dan mereka tidak akan merampas harta korban.” ujar Drs. Soeprapto, S.U.
Pidana Bagi Pelaku Klitih
Klitih dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan yang diatur dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut.
“(1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Yang bersalah diancam:
- Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka.
- Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat.
- Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun,jika kekerasan mengakibatkan maut.”
Klitih juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Pasal 358 KUHP yang berbunyi:
“Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di mana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam:
- Dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat.
- Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada yang mati.”
Pidana bagi pelaku klitih sesuai Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dijelaskan sebagai berikut.
- Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
- Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
- Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
- Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
- Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Jika pelaku klitih merupakan anak dibawah umur, maka berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam aturan tersebut, anak dibawah umur adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun.
Dampak Klitih
Klitih menimbulkan sejumlah dampak negatif. Dampak klitih antara lain sebagai berikut.
- Menyebabkan luka parah, bahkan kematian.
- Berpotensi menimbulkan trauma jangka panjang bagi korban.
- Menimbulkan keresahan dan ketakutan masyarakat.
- Mengganggu ketertiban sosial.
- Menurunkan kualitas anak penerus bangsa Indonesia,
- Merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
- Mencemari nama baik sekolah atau instansi.
Mengutip kumparan.com, keresahan dan ketakutan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik klitih juga dapat mempengaruhi perekonomian. Pasalnya, adanya teror ini akan membuat wisatawan enggan untuk berkunjung ke Yogyakarta.
Kabid Humas Polda DIY Kombes Pol Yuliyanto mengatakan, maraknya klitih juga mempengaruhi sektor pendidikan. Sebagai kota yang dikenal dengan sebutan "Kota Pelajar", Yogyakarta merupakan kota tujuan orang menimba ilmu, karena banyak institusi pendidikan di kota tersebut. Maraknya klitih ini, akan memunculkan keraguan di benak orang tua yang hendak menyekolahkan anaknya di Yogyakarta.