Sejarah Perlindungan Kekayaan Intelektual di Indonesia

Image title
26 April 2022, 12:38
Ilustrasi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyampaikan sambutan saat acara penyerahan Sertifikat Kekayaan Intelektual di Denpasar, Bali, Jumat (5/2/2021).
ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/aww.
Ilustrasi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyampaikan sambutan saat acara penyerahan Sertifikat Kekayaan Intelektual di Denpasar, Bali, Jumat (5/2/2021).

World Intellectual Property Organization (WIPO) telah menetapkan 26 April sebagai Hari Kekayaan Intelektual Sedunia. Tujuan penetapan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran tentang bagaimana paten, hak cipta, merek dagang dan desain pada kehidupan sehari-hari.

Selain itu, Hari Kekayaan Intelektual Sedunia juga ditetapkan untuk untuk merayakan kreativitas, dan kontribusi yang dibuat oleh pencipta dan inovator, untuk pengembangan masyarakat di seluruh dunia.

Di Indonesia, kekayaan intelektual merupakan topik yang mendapat perhatian serius dari masa ke masa. Bahkan sejak era pemerintahan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Berikut ini ulasan singkat mengenai perlindungan kekayaan intelektual di Indonesia, sejak era kolonial hingga saat ini, mengutip penjelasan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Era Kolonial Belanda dan Pendudukan Jepang

Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual di Indonesia telah ada sejak 1840-an. Pemerintah Kolonial Belanda pertama kali memperkenalkan Undang-undang (UU) pertama mengenai perlindungan hak kekayaan intelektual pada 1844.

Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda mengesahkan dua aturan mengenai merek dan hak cipta, yakni UU Merek pada 1885, UU Paten pada 1910, dan UU Hak Cipta pada 1912.

Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indies, telah menjadi anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak 1888 dan anggota Berne Convention for the Protection of Literary and Aristic Works sejak 1914.

Aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda ini masih digunakan selama masa pendudukan Jepang, yaitu sejak 1942 sampai dengan 1945.

Era Awal Kemerdekaan hingga Orde Lama

Pada 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh hukum dan aturan yang terdapat di dalam UU peninggalan kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Pada awal kemerdekaan, UU Hak Cipta dan UU peningggalan Belanda dinyatakan tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia.

Pasalnya, dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan paten dapat diajukan di kantor paten yang berada di Batavia, yang kemudian berubah nama menjadi Jakarta, namun pemeriksaan atas permohonan paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda.

Baru pada 1953 Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo mengeluarkan dua pengumuman, yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang paten.

Dua pengumuman yang dimaksud adalah, Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.S. 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan semetara permintaan paten dalam negeri. Kedua, Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.G. 1/2/17, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.

Kemudian, pada 11 Oktober 1961 pemerintah mengundangkan UU Nomor 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan atau UU Merek 1961, untuk menggantikan UU Merek peninggalan pemerintah kolonial Belanda.

UU Merek 1961 merupakan peraturan perundang-undangan Indonesia pertama di bidang hak kekayaan intelektual. UU ini mulai berlaku pada 11 November 1961. Penetapan UU Merek 1961 ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan.

Saat ini, 11 November yang merupakan tanggal berlakunya UU Merek 1961 telah ditetapkan sebagai Hari Kekayaan Intelektual Nasional.

Era Orde Baru

Pada 10 Mei 1979, Indonesia meratifikasi Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property), yang merupakan revisi atas Konvensi Stockholm yang dilakukan pada 1967 melalui Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979.

Namun, partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh, karena Indonesia membuat pengecualian terhadap sejumlah ketentuan dalam Konvensi Paris.

Pada 12 April 1982, pemerintah mengesahkan UU Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta 1982) untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta 1982 ini, dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.

Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era modern sistem hak kekayaan intelektual Indonesia Sebab, pada 23 Juli 1986 Presiden Soeharto membentuk tim khusus bidang hak kekayaan intelektual melalui Keputusan Presiden Nomor 34/1986, yang dikenal sebagai Tim Keppres 34.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...