Mengenal ORIDA, Mata Uang yang Pernah Mewarnai Perjalanan Indonesia
Pada awal kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia merancang mata uang yang memiliki identitas bangsa, yakni Oeang Republik Indonesia (ORI). Namun, ada satu mata uang yang agaknya terlupakan dari ingatan sejarah masyarakat Indonesia, yaitu ORIDA.
Patut diingat, pada awal kemerdekaan, mata uang yang digunakan di wilayah Indonesia terdiri dari empat mata uang, antara lain mata uang sisa zaman kolonial Belanda yaitu uang kertas De Javasche Bank.
Lalu, uang yang disiapkan Jepang sebelum menguasai Indonesia, yaitu De Japansche Regering dengan satuan gulden (f), yang dikeluarkan pada 1942. Kemudian, Dai Nippon emisi 1943 pecahan 100 rupiah. Terakhir, Dai Nippon Teikoku Seibu emisi 1943 bergambar Wayang Orang Satria Gatot Kaca bernilai 10 rupiah, dan gambar Rumah Gadang Minang bernilai 5 rupiah.
Meski empat uang ini berlaku, pemerintah tetap mempersiapkan lahirnya mata uang yang memiliki identitas Indonesia. Maka lahirlah ORI. Di samping ORI, ada satu mata uang lain yang muncul, yaitu Oeang Republik Indonesia Daerah atau ORIDA. Ini merupakan mata uang yang dikeluarkan oleh daerah.
Untuk mengetahui sejarah terbentuknya ORIDA, ada baiknya mengetahui latar belakang terbentuknya ORI, dan bagaimana peran uang daerah turut menopang kedaulatan Indonesia.
Latar Belakang Terbentuknya ORI
Sebelum membahas mengenai kemunculan ORIDA, ada baiknya untuk menilik sekilas mengenai kemunculan ORI, yang menjadi mata uang pertama Republik Indonesia.
ORI terbentuk sebagai respons pemerintah atas beredarnya mata uang bentukan pemerintah Belanda, melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Mata uang yang dimaksud kerap disebut Uang NICA atau 'Uang Merah'.
Peredaran Uang Merah ini cukup mulus di awal-awal NICA masuk Indonesia. Pasalnya, NICA langsung memperoleh akses kantor-kantor bank Jepang pada 10 Oktober 1945. Bank bentukan Jepang ini kemudian ditutup, dan NICA menghidupan kembali DJB yang bertugas sebagai bank sirkulasi.
Pada 6 Maret 1946, NICA secara resmi mulai mengedarkan dan menetapkan Uang Merah sebagai alat pembayaran yang sah di daerah-daerah pendudukan.
Untuk mengedarkannya, pemerintah pendudukan Belanda tak jarang melakukan pemaksaan. Meski, saat itu rakyat kebanyakan hanya mau menerima rupiah Jepang, pemerintah pendudukan Belanda memaksa masyarakat untuk menukarkannya dengan Uang Merah. Tak jarang pemaksaan tersebut dilakukan dengan todongan senjata.
Menyingkapi peredaran uang NICA yang kian meluas, pemerintah Indonesia pun tidak tinggal diam. Pada 15 Maret 1946, pemerintah mengeluarkan maklumat, yang menyatakan bahwa masyarakat yang kedapatan memegang Uang Merah akan mendapatkan hukuman berat.
Mengutip kemenkeu.go.id, menanggapi peredaran mata uang bentukan NICA, pemerintah memutuskan menarik peredaran beberapa uang, yakni uang DJB, uang rupiah Jepang dan Uang Merah. Saat itu, penduduk hanya diperbolehkan memegang maksimal 50 sen rupiah Jepang.
Penarikan peredaran uang ini diikuti oleh upaya pemerintah Indonesia mempersiapkan mata uang sendiri. Upaya ini menghasilkan Oeang Republik Indonesia (ORI) atau 'Uang Putih'.
Uang Putih atau ORI ini dikeluarkan oleh Menteri Keuangan A.A. Maramis melalui Surat Keputusan No.SS/1/25 tanggal 29 Oktober 1946. ORI secara resmi berlaku pada 30 Oktober 1946 sebagai mata uang yang sah di wilayah Republik Indonesia.
Tersudutnya ORI dan Kemunculan ORIDA
Di masa awal-awal kemunculannya, nilai ORI cenderung kuat melawan uang NICA, di mana satu ORI berbanding 2 uang NICA. Namun, dalam perjalanannya nilai ORI terus menyusut hingga 1:5. Bahkan, pada saat Agresi Militer Belanda II, nilai ORI turun tajam, dengan perbandingan butuh 500 ORI untuk menebus 1 florin uang NICA.
Pada awal beredarnya ORI, setiap penduduk diberi Rp 1 sebagai pengganti sisa uang invasi Jepang yang masih dapat digunakan sampai dengan 16 Oktober 1946. Namun, pada saat itu peredaran ORI belum bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan selain faktor perhubungan, masalah keamanan juga berpengaruh karena sebagian wilayah Indonesia masih berada di bawah kedudukan Belanda.
Secara umum, kemerosotan ORI disebabkan karena beberapa hal, yakni makin sempitnya wilayah Republik Indonesia, akibat agresi militer yang dilakukan Belanda. Kedua, pemerintah pendudukan Belanda juga memalsukan ORI untuk membuat nilainya jatuh akibat inflasi. Ketiga, NICA juga kerap mengintimidasi masyarakat yang menyimpan ORI.
Beberapa faktor ini, membuat pemerintah Indonesia kesulitan untuk menyatukan Indonesia sebagai satu kesatuan moneter. Oleh karena itu, pemerintah memberikan mandat kepada daerah untuk menerbitkan mata uang sendiri, untuk menangkal peredaran uang NICA yang semakin merajalela.
Mengutip historia.id, ORIDA beredar sepanjang 1947-1950 di wilayah Sumatra dan Jawa. Dasar hukum penerbitannya adalah, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 1947, yang dikeluarkan pada 26 Oktober 1947.
PP ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah, untuk menerbitkan mata uang atau alat pembayaran sementara yang sah. Melalui PP ini, pemerintah pusat juga menjamin seluruh penerbitan tersebut, serta menjamin bahwa mata uang daerah yang diterbitkan dapat ditukarkan dengan ORI.
Meski secara resmi ORIDA mendapatkan legalitas pada 26 Oktober 1947, namun ide ini telah muncul dan dijalankan sebelum pemerintah pusat mengeluarkan PP yang menjamin legalitasnya.
1. ORIDA Muncul Berawal dari Sumatera
Sebelum aturan mengenai ORIDA muncul, ide mengenai pembuatan mata uang daerah telah dijalankan oleh Provinsi Sumatera. ORIDA pertama, dimulai dari Pematang Siantar, yang mulai beredar pada April 1947.
Penggagas ORIDA pertama ini adalah Gubernur Sumatera saat itu, yakni Tengku Mohammad Hasan. Ia mengajukan usul kepada Menteri Keuangan saat itu, Sjafruddin Prawiranegara, agar diizinkan mengeluarkan uang sendiri secara terbatas.
Setelah berdiskusi panjang lebar, Sjafruddin akhirnya menyetujui usulan Hasan. Lalu, dengan berlandaskan Maklumat Gubernur Sumatra Tengku Mohammad Hasan Nomor 92/K.O tanggal 8 April 1947, ORIDA pertama di Indonesia dicetak dan diedarkan.
ORIDA di Sumatera ini dikenal sebagai Oeang Republik Indonesia Sumatra (ORIPS). Nilainya setara dengan 1 ORI, dan memiliki empat pecahan, yakni Rp 1, Rp 5, Rp 10, dan Rp 100.
ORIPS pertama ini memiliki tanda pengaman, serta nomor seri untuk menjamin keaslian. Pembubuhan tanda pengaman dan nomor seri diberikan, untuk menangkal upaya pemalsuan yang sebelumnya kerap dilakukan NICA untuk menghambat ORI.
Awalnya, percetakan ORIPS dilakukan di Pematang Siantar, namun kemudian dipindahkan ke Bukittinggi pada 1948. Ini sesuai dengan instruksi Presiden Soekarno kepada Panglima Divisi IX di Bukittinggi, untuk membantu mencetak ORIPS.
Perjalanan ORIDA pertama ini bukannya tanpa hambatan. Pendudukan NICA atas sejumlah wilayah di Sumatera, membuat peredaran ORIPS tidak bisa menyeluruh.
Namun, bukan berarti uang daerah langsung mati, karena pemerintah-pemerintah daerah lain di Sumatera ikut menerbitkan mata uang sendiri. Ini berkat keluarnya PP yang menjamin legalitas ORIDA dan kesetaraannya dengan ORI.
Mengutip kemenkeu.go.id, sejumlah ORIDA yang muncul di wilayah Sumatera selain ORIPS antara lain, ORITA-Tapanuli, ORIPSU-Sumatera Utara, ORIBA-Banda Aceh, ORIN-Kabupaten Nias dan ORIAB-Kabupaten Labuhan Batu.
Jenis ORIDA pun tak terbatas dalam bentuk uang. Melainkan juga dalam bentuk berupa bon, Surat Tanda Penerimaan Uang, Tanda Pembayaran Yang Sah dan ORIDA dalam bentuk Mandat. Ini dapat terwujud, karena salah satu kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah melalui PP 19/1947 adalah, menerbitkan alat pembayaran sementara yang sah.
2. Inisiatif Penerbitan ORIDA Meluas ke Pulau Jawa
Tak hanya di Sumatera, inisiatif menerbitkan uang daerah atau ORIDA juga dilakukan oleh pemerintah-pemerintah daerah di Pulau Jawa.
ORIDA di Pulau Jawa pertama kali terbit dan beredar di Banten pada 11 Agustus 1948, yakni Oeang Republik Indonesia Daerah Banten (ORIDAB). Uang ini beredar atas persetujuan K.H. Achmat Chatib, selaku Residen Banten. Wilayah peredarannya meliputi Tangerang, Jasinga, dan Lampung Selatan.
ORIDA Banten terbit setelah tentara Belanda menguasai sebagian besar perbatasan di Jawa Barat dan memblokade pesisir Banten sehingga Banten terisolasi.
ORIDA Banten ini, terdiri atas empat pecahan, yakni Rp 1, Rp 5, Rp 10, dan Rp 25. Masing-masing memiliki tulisan "Darurat Tanda Pembajaran Jang Sah". Selain itu, uang ini juga turut disertai tanda tangan Achmad Chatib dalam aksara arab, serta memuat ketentuan hukuman pidana bagi pemalsu.
Mengutip Media Keuangan Edisi Oktober 2020, di Yogyakarta, terbit pula ORIDA dalam bentuk surat tanda penerimaan uang untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, yang ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Kemudian, di Surakarta juga terbit surat tanda penerimaan uang, yang memiliki ukuran berbeda-beda, di mana semakin besar nilai uangnya, maka semakin besar ukurannya. Misalnya, surat tanda penerimaan uang Surakarta emisi 1 November 1948 dengan nominal Rp 1, ukurannya hanya 58 mm x 93 mm. Sementara, untuk emisi yang sama dengan nominal Rp 5, berukuran 75 mm x 114 mm.
Terkait dengan masa berlaku ORIDA, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 76 tahun 1948 pada 13 Desember 1948, yang menyebut masa berlaku ORIDA akan diatur langsung oleh Menteri Keuangan. Tercatat hingga akhir 1949, terdapat 21 jenis mata uang dan 27 jenis ORIDA.
Untuk jumlahnya, tidak diketahui secara pasti berapa nominal ORIDA yang beredar. Namun, J. Soedradjad Djiwandono dkk dalam "Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1959" mencatat, jumlah peredaran ORI dan ORIDA pada 1946 sebesar Rp 323 juta diperkirakan meningkat menjadi Rp 6 milyar pada akhir 1949.
Penerbitan berbagai jenis mata uang dan bentuk ORIDA telah membantu Indonesia tetap bertahan menghadapi serbuan uang NICA yang beredar di daerah. Selain itu, penerimaan masyarakat terhadap uang daerah ini, membuktikan posisi kuat Republik Indonesia di berbagai daerah pendudukan Belanda.
Penggunaan ORI dan ORIDA berakhir seiring dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Desember 1949, yang menyepakati pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pada 1 Mei 1950, Pemerintahan RIS menarik ORI dan ORIDA dari peredaran, menggantinya dengan mata uang RIS yang telah berlaku sejak 1 Januari 1950.