Menilik Sejarah Singkat Cukai Rokok di Indonesia

Image title
30 Juni 2022, 12:18
cukai rokok, cukai, rokok
IndischHistorisch.nl
Ilustrasi, interior anjungan pabrik rokok Negresco di Bandung

Pada 1 Januari 2022, pemerintah resmi menaikkan tarif rata-rata tertimbang cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12%. Ini bukan pertama kalinya pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan cukai rokok.

Sejatinya, kebijakan mengenai cukai rokok mewarnai perjalanan Indonesia sejak lama, bahkan ketika negara ini masih bernama Hindia Belanda. Potensi ekonomi dari hasil penjualannya menjadi motif utama pengaturan cukai rokok.

Pengembangan tanaman tembakau sebagai komoditas, telah dikembangkan pada pertengahan abad ke-19. Pada 1858, tembakau berhasil dikembangkan secara masif menjadi salah satu tanaman ekspor andalan dan menjadi salah satu sumber pemasukan keuangan negara bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Meski demikian, pengaturan terkait cukai rokok baru dilakukan menjelang pertengahan abad ke-20. Tujuannya, untuk memaksimalkan hasil penjualan rokok bagi keuangan pemerintah Hindia Belanda.

Pengaturan Cukai Rokok Era Kolonial

Seperti telah disebutkan, pengaturan atau kebijakan mengenai cukai rokok baru dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda menjelang pertengahan abad ke-20. Pemerintah kolonial Hindia Belanda mengaturnya dalam Staatsblad Nomor 517 Tahun 1932, atau disebut juga sebagai Tabaksaccijns Ordonnantie (ordonansi cukai tembakau).

Pengaturan cukai rokok ini merupakan konsekuensi dari menjamurnya perdagangan rokok di wilayah Hindia Belanda sejak 1880 hingga 1931. Ini ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Van der Reijden, yang tertuang dalam buku "Kretek Djawa".

Penelitian Van der Reijden menunjukkan, pada 1932 terdapat 165 pabrik rokok yang berada di Kudus, Jawa Tengah. Pada 1931, penjualan rokok putih telah mencapai 7,1 miliar batang per tahun. Sementara, produksi rokok kretek mencapai 6,42 miliar batang per tahun.

Jumlah produksi yang mengesankan ini menjadi pertanda, bahwa rokok komoditas unggulan dan penyerap tenaga kerja, serta berpotensi mendatangkan pendapatan yang besar untuk kas negara.

Pengaturan mengenai cukai rokok kemudian berlanjut dengan dikeluarkannya Staatsblad 560/1932, serta Staadsblad 427/1935. Khusus untuk Staadsblad 427/1935, aturan ini dibuat untuk membedalan cukai antara rokok putih impor dan rokok kretek. Aturan ini dikeluarkan, agar impor rokok putih tidak menekan industri rakyat Hindia Belanda.

Semua aturan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda ini, mengatur soal pita cukai, bea ekspor, dan bea masuk impor. Termasuk di dalamnya, juga ketentuan mengenai besaran jumlah yang diterima pemerintah dari pengutipan cukai rokok.

Cukai Rokok Pasca-Kemerdekaan dan Orde Lama

Pasca-Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia masih mengadopsi Staatsblad 517/1932 untuk penerapan cukai rokok.

Namun, pemerintah mempertegas aturan dengan mengeluarkan Undang-undang (UU) Nomor 28 tahun 1947. Dalam UU ini, pemerintah Indonesia menetapkan cukai dihitung menurut harga eceran, yaitu harga yang di dalamnya telah termasuk cukai serta segala biaya yang dikeluarkan untuk menyiapkan tembakau.

Untuk tarifnya, pemerintah menetapkan sebesar empat puluh per seratus dari harga eceran. Ini diatur dalam Pasal 6 UU 28/1947. UU ini juga mengatur cara memungut cukai, serta nomor pengawasan cukai yang menjadi kewenangan Jawatan Bea dan Cukai.

Pemerintah Indonesia melanjutkan pemungutan cukai rokok melalui UU Darurat Nomor 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau. UU ini mengatur harga jual eceran (HJE), pemungutan cukai yang diturunkan, dan penetapan golongan-golongan pengusaha tembakau yang dibebani kewajiban membayar cukai.

UU Darurat ini diikuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 1951 tentang perubahan tabaksaccijnsverordening (peraturan cukai tembakau). Peraturan ini mengatur penetapan besarnya pungutan cukai hasil tembakau, dengan cara melekatkan pita cukai warna-warni yang beragam di beberapa jenis atau penggolongan hasil tembakau yang diproduksi.

Dalam perjalanannya, pemerintah kemudian menerbitkan UU Nomor 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau. Aturan ini ditetapkan dengan tujuan mengurangi dampak makin banyaknya perusahaan rokok yang bangkrut, akibat tingginya cukai tembakau, terutama perusahaan-perusahaan kecil skala rumah tangga yang bangkrut akibat tingginya pengenaan cukai tembakau.

Aturan ini dibuat untuk merapikan semua peraturan yang sudah ada mengenai rokok sebagai produk hasil tembakau. Kemudian, juga untuk memberikan subsidi kepada perusahaan-perusahaan rokok, berupa penurunan cukai pada jumlah tertentu dan pembebasan cukai atas pengusaha-pengusaha rokok selama satu tahun (tax holiday).

Selain itu, UU ini tidak lagi menetapkan cukai berdasarkan harga jual eceran (HJE) per bungkus rokok, tetapi pada setiap batang rokok.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...