Imbas Pandemi, Kinerja Lima Perusahaan Transportasi Semester I Anjlok
Pandemi virus corona atau Covid-19 membuat pemerintah sempat menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), yang membuat mobilitas masyarakat turun drastis. Hal ini menyebabkan anjloknya pendapatan dan laba perusahaan di sektor transportasi, bahkan beberapa di antaranya membukukan rugi.
Gambaran suram sektor transportasi sepanjang semester I 2020, terutama saat pandemi corona terlihat dari penurunan jumlah penumpang dari seluruh jenis transportasi pada Mei 2020. Kerugian terbesar dirasakan maskapai penerbangan, sebab jumlah penumpang, baik domestik maupun internasional turun lebih dari 50% pada Mei 2020.
Sebagai gambaran, pada Mei 2020 hanya terdapat 87.000 penumpang domestik dan 11.700 penumpang internasional. Jumlah tersebut turun masing-masing 89,6% dan 55% dibandingkan April 2020.
Untuk bertahan di tengah pandemi corona, beberapa perusahaan transportasi melakukan strategi menekan biaya operasional, dengan pemangkasan gaji atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kemudian, menunda pembelian barang-barang modal selama pandemi karena operasional terdampak pandemi.
Selain itu, perusahaan di sektor transportasi juga mengambil langkah negosiasi dengan kreditur untuk mendapatkan keringanan atau relaksasi pembayaran pokok utang. Negosiasi juga dilakukan dengan lessor, seperti yang dilakukan oleh PT Garuda Indonesia Tbk, untuk menekan biaya sewa pesawat.
Beberapa strategi yang diambil perusahaan-perusahaan di sektor transportasi ini sedikit banyak mampu menahan efek negatif dari pandemi corona. Meski demikian, beberapa perusahaan tercatat mengalami rugi sepanjang semester I 2020 karena kinerjanya sangat tergantung dari mobilitas masyarakat.
Berikut ini kinerja beberapa perusahaan di sektor transportasi, baik transportasi darat, laut maupun udara:
1. PT Garuda Indonesia Tbk
PT Garuda Indonesia Tbk merupakan salah satu perusahaan sektor transportasi yang mengalami pukulan telak akibat pandemi corona. Seperti diketahui, adanya PSBB menyebabkan mobilitas masyarakat turun signifikan, sehingga mempengaruhi pendapatan perseroan secara langsung.
Sepanjang semester I 2020 Garuda Indonesia membukukan rugi bersih sebesar US$ 712,72 juta atau setara Rp 10,47 triliun (asumsi kurs Rp 14.700). Capaian ini berkebalikan dari kinerja periode yang sama tahun lalu, di mana perseroan mampu mencatatkan laba sebesar US$ 24,11 juta atau setara Rp 354,48 miliar.
Dalam laporan keuangan semester I 2020 yang belum diaudit, kerugian ini sejalan dengan anjloknya pendapatan usaha perseroan. Pada paruh pertama tahun ini, perseroan mencatatkan pendapatan sebesar US$ 917,28 juta, turun 58,18% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 2,19 miliar.
Penyebab utama penurunan pendapatan secara tajam ini adalah turunnya pendapatan dari penerbangan berjadwal, yang merupakan kontributor terbesar. Sepanjang semester I 2020 pendapatan dari penerbangan berjadwal tercatat sebesar US$ 750,25 juta, turun 59,55% dibandingkan semester I 2019.
Dari pos pendapatan lainnya, Garuda Indonesia mencatat raihan sebesar US$ 145,47 juta, turun 56,45% secara year on year (yoy). Pendapatan lainnya ini berasal dari lini bisnis pemelihatan pesawat, pelayanan penerbangan, biro perjalanan, jasa boga, hotel, transportasi hingga pergudangan.
Meski demikian, komponen pendapatan dari penerbangan tidak berjadwal tercatat meningkat. Pada semester I 2020 dari lini ini perseroan mampu meraup pendapatan US$ 21,54 juta, melonjak hingga 392,5% dibandingkan semester I 2019.
Sebelumnya perseroan menyatakan lini pendapatan tak berjadwal atau charter memang menjadi salah satu bisnis yang dimaksimalkan di tengah pandemi. Salah satu contohnya, pesawat disewa oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) farmasi untuk mengambil bahan baku obat di Shanghai, Tiongkok.
Selain itu, Garuda Indonesia juga melayani permintaan sewa pesawat dari pemerintah negara lain yang ingin memulangkan warga negaranya di tengah pandemi corona.
Sepanjang semester I 2020 perseroan sebenarnya mencatatkan penurunan beban usaha, namun jumlahnya tidak signifikan dibandingkan dengan penurunan pendapatan. Sepanjang semester I 2020 beban usaha perseroan tercatat sebesar US$ 1,64 juta, turun 21,99% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu.
Komponen terbesar berasal dari beban operasional penerbangan, di mana pada semester I 2020 mencapai US$ 945,58 juta, turun 23,49% yoy. Begitu pula dengan beban pemeliharaan dan perbaikan yang pada semester I 2020 sebesar US$ 224,42 juta, turun hanya 7,54% dari US$ 242,72 juta.
2. PT Blue Bird Tbk
PT Blue Bird Tbk tercatat mengalami kerugian sebesar Rp 93,67 miliar sepanjang semester I 2020 akibat pandemi corona. Padahal pada periode yang sama tahun lalu, perseroan berhasil mengantongi laba bersih senilai Rp 158,37 miliar, artinya profitabilitasnya turun hingga 159,15%.
Berdasarkan laporan keuangan belum teraudit, kerugian Blue Bird sejalan dengan pendapatan bersih yang hanya Rp 1,15 triliun pada semester I 2020. Raihan tersebut turun 39,86% dibandingkan semester I 2019 yang sebesar Rp 1,91 triliun.
Penurunan pendapatan terbesar dialami oleh segmen bisnis taxi, di mana sepanjang paruh pertama tahun ini hanya mengantongi Rp 865,74 miliar. Jumlah ini turun tajam 43,09% dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 1,52 triliun.
Bisnis sewa kendaraan pun juga terpukul pandemi corona sepanjang semester I 2020, dengan raihan pendapatan sebesar Rp 295,13 miliar. Capaian tersebut turun hingga 29,92% dibandingkan semester I 2019 senilai Rp 421,16 miliar.
Meski begitu, beban langsung tercatat turun 31,71% menjadi Rp 946,27 miliar pada semester I 2020, dari sebelumnya Rp 1,38 triliun pada pada periode yang sama tahun lalu. Salah satu penyebabnya adalah gaji, tunjangan, dan beban pengemudi turun 47,64% menjadi Rp 309,75 miliar.
Blue Bird juga mencatatkan penurunan beban usaha sebesar 5,59% menjadi Rp 312,58 miliar sepanjang semester I 2020. Pada periode yang sama tahun lalu, perseroan menanggung beban usaha sebesar 331,09 miliar.
Meski mencatatkan penurunan pada pos beban, jumlahnya tidak mampu menahan efek dari sisi pendapatan yang terkena pukulan telak pandemi corona. Alhasil, Blue Bird mencatatkan kerugian sepanjang semester I 2020.
Pada paruh pertama tahun ini, Blue Bird telah mengambil beberapa strategi untuk meminimalisir dampak pandemi corona. Salah satunya adalah mengadakan kesepakatan dengan para kreditur, untuk memperoleh relaksasi pembayaran pokok utang.
Kemudian perseroan juga melakukan efisiensi, seperti pemotongan gaji karyawan dan penyesuaian jumlah hari kerja. Melalui strategi ini, tercatat ada 3.312 karyawan yang terdampak.
3. PT Express Transindo Utama Tbk
PT Express Transindo Utama Tbk tercatat membukukan kerugian sebesar Rp 43,44 miliar sepanjang semester I 2020, turun 62,47% dibandingkan rugi yang dialami perseroan pada periode yang sama tahun lalu. Pada semester I 2019 perseroan membukukan rugi bersih sebesar Rp 115,78 miliar.
Pada paruh pertama tahun ini, perusahaan yang dikenal dengan merek taksi Express ini mengantongi pendapatan sebesar Rp 19,41 miliar. Jumlah tersebut anjlok hingga 62,47% dibandingkan dengan semester I 2019 yang mencapai Rp 77,18 miliar.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan yang belum diaudit, pendapatan dari bisnis taksi tercatat sebesar Rp 13,68 miliar pada semester I 2020. Angka ini anjlok hingga 75,57% dibandingkan dengan semester I 2019 yang sebesar Rp 56,03 miliar.
Dari bisnis sewa kendaraan, Express Transindo Utama hanya mengantongi pendapatan sebesar Rp 3,17 miliar pada semester I 2020. Capaian ini anjlok hingga 79,56% dibandingkan dengan semester I 2019, di mana perseroan mampu menghasilkan pendapatan Rp 15,51 miliar dari bisnis sewa kendaraan.
Meski begitu, beban pokok pendapatan mampu diturunkan hingga 56,62% menjadi Rp 160,42 miliar pada semester I 2020. Pada periode yang sama tahun lalu, Express Transindo Utama menanggung beban pokok pendapatan sebesar Rp 160,42 miliar.
Beban pokok pendapatan bisa turun drastis karena beban dari penyusutan armada dan peralatan pada semester I 2020 turun 47,24% menjadi Rp 46,37 miliar. Selain itu, beban gaji dan tunjangan turun 54,66% Rp 12,5 miliar.
Pada paruh pertama tahun ini Express Transindo Utama juga mampu menurunkan beban usaha dan administrasi sebesar 63,95% menjadi Rp 6,81 miliar. Pada periode yang sama tahun lalu, perseroan menanggung beban sebesar Rp 18,89 miliar pada pos ini.
Sepanjang semester I 2020 perseroan melakukan beberapa langkah efisiensi karena operasional terdampak pandemi corona. Salah satu langkah yang diambil adalah menyesuaikan jumlah karyawan dan penutup sejumlah pool taksi yang sudah tidak aktif lagi.
Express Transindo Utama diketahui melakukan pengurangan jumlah karyawan sebanyak 271 karyawan sepanjang semester I 2020 ini. Manajemen mengaku bahwa penurunan jumlah karyawan merupakan bagian dari penyelesaian atas masa kontrak karyawan karena kondisi bisnis yang menurun imbas pandemi corona.
Sisa karyawan sebanyak yaitu 200 orang pun terkena langkah efisiensi berupa pemotongan gaji sebesar 40% dari total gaji per bulan. Manajemen pun belum bisa memperkirakan sampai kapan kebijakan pemotongan gaji ini diberlakukan.
Berkat langkah efisiensi inilah beban Express Transindo Utama berhasil ditekan sepanjang semester I 2020. Hal ini berdampak langsung terhadap kinerja, meski secara keseluruhan perseroan masih membukukan rugi bersih.
4. PT Kereta Api Indonesia
PT Kereta Api Indonesia (KAI) juga menjadi salah satu perusahaan yang mengalami pukulan telak pandemi corona. Sepanjang semester I 2020 perusahaan pelat merah ini membukukan rugi bersih Rp 1,35 triliun, padahal pada semester I 2019 perseroan mampu mencatatkan laba Rp 1,21 triliun.
Kinerja buruk ini harus dialami oleh KAI karena penghentian operasional sementara beberapa perjalanan kereta api (KA) jarak jauh imbas pandemi corona, serta membatasi perjalanan KA jarak pendek. Langkah ini diambil sejak 23 April 2020 demi mencegah penyebaran Covid-19.
Pembatasan dan penghentian sementara operasional perjalanan KA ini otomatis berimbas pada pendapatan perseroan. Apalagi KAI kehilangan momentum lebaran dan libur sekolah, di mana seharusnya perseroan mampu mendulang pendapatan yang besar dari dua momen ini.
Sepanjang semester I 2020 KAI meraup pendapatan sebesar Rp 7,41 triliun, turun 38,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 12,13 triliun. Pada paruh pertama tahun ini, seluruh lini bisnis perseroan tercatat mengalami penurunan pendapatan
Sepanjang semester I 2020 KAI mencatat perolehan pendapatan dari jasa angkutan orang sebesar Rp 2,03 triliun, anjlok 56,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara dari jasa angkutan barang, perseroan memperoleh pendapatan sebesar Rp 3,15 triliun, turun 4,99% dibandingkan semester I 2020.
Demikian pula dari lini bisnis konstruksi, perseroan juga mencatatkan penurunan tajam. Sepanjang semester I 2020 dari lini KAI meraup pendapatan sebesar Rp 137 miliar, anjlok 90,64% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 1,43 triliun.
Sepanjang paruh pertama tahun ini KAI berhasil menekan sejumlah pos beban karena operasional terdampak pandemi corona. Pada pos beban pokok pendapatan misalnya, perseroan berhasil menurunkan sebesar 21,45% menjadi Rp 7,02 triliun. Kemudian, pos beban usaha juga berhasil diturunkan 10,51% nebhadu Rp 1,26 triliun.
Meski demikian, penurunan pada pos beban ini tidak signifikan dibandingkan dengan penurunan pendapatan perseroan. Sehingga pada semester I 2020 KAI mencatatkan rugi bersih, kontras dibandingkan capaian pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Menghadapi pandemi corona, KAI telah memangkas biaya operasional sebesar 40% dan memantau penggunaan kas secara ketat. Kemudian memastikan ketersediaan fasilitas pinjaman jangka pendek dalam rangka menjaga ketersediaan likuiditas, serta mengajukan relaksasi atas pinjaman jatuh tempo.
Manajemen KAI juga melakukan negosiasi ulang kepada mitra atas kewajiban perawatan lokomotif dan menerapkan skala prioritas dalam penggunaan belanja modal. Lalu, mengoptimalkan angkutan barang untuk mengisi kekosongan jalur akibat penghentian sebagian angkutan penumpang.
Terakhir, perseroan juga memohon dukungan pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pemerintah pun merespons dengan memberikan dana talangan sebesar Rp 3,5 triliun kepada KAI.
5. PT Transcoal Pacific Tbk
PT Transcoal Pacific Tbk masih mampu membukukan laba sepanjang semester I 2020, yakni sebesar Rp 31,47 miliar. Namun capaian tersebut anjlok hingga 79,88% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, di mana perseroan mampu membukukan laba bersih Rp 156,46 miliar.
Mengutip laporan keuangan yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia (BEI), penurunan laba disebabkan karena sepanjang semester I 2020 pendapatan perseroan tercatat turun tajam.
Sepanjang semester I 2020 Transcoal membukukan pendapatan sebesar Rp 826,5 miliar, turun 29,44% dibandingkan raihan periode yang sama tahun lalu. Pada semester I 2019 perseroan mampu membukukan pendapatan sebesar Rp 1,17 triliun.
Meski begitu, Transcoal Pacific berhasil menurunkan beban pokok pendapatan pada semester I 2020 menjadi Rp 679,73 miliar. Angka tersebut turun hingga 19,72% dibandingkan dengan beban yang harus ditanggung pada semester I 2019 senilai Rp 846,74 miliar.
Transcoal juga mampu menekan beban usaha sebesar 30,65% menjadi Rp 52,02 miliar sepanjang semester I 2020. Pada periode yang sama tahun lalu, perseroan menanggung beban usaha sebesar Rp 75,02 miliar.
Penurunan beban yang cukup signifikan ini berhasil diraih berkat strategi Transcoal melakukan pengurangan biaya atau cost reduction selama pandemi corona. Selain itu, perseroan juga melakukan penundaan pembelian barang modal.
Kinerja Transcoal sepanjang semester I 2020 juga diuntungkan adanya keuntungan selisih kurs sebesar Rp 1,19 miliar. Pada semester I 2019 perseroan membukukan rugi selisih kurs sebesar Rp 529 juta. Selain itu, perseroan juga mencatatkan adanya keuntungan atas pelepasan tetap, sebesar Rp 46 juta.
Berkat strategi menekan beban dan adanya sedikit kontribusi dari beberapa pos pendapatan di luar bisnis inti, penurunan kinerja pendapatan perseroan berhasil ditekan sehingga tidak turun terlalu dalam.