Sri Mulyani Waspadai Dampak Kenaikan Inflasi Eropa ke Surat Utang RI
Pemerintah mewaspadai dampak inflasi di Eropa yang meningkat menjadi 2% pada bulan lalu. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, perkembangan tersebut dapat memengaruhi tren suku bunga surat utang pemerintah.
"Kenaikan inflasi di Eropa terjadi karena pemulihan permintaannya lebih cepat daripada pasokannya," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (2/6).
Ia menjelaskan bahwa tren kenaikan inflasi global, terutama Eropa dan Amerika Serikat dapat menyebabkan perubahan kebijakan moneter di negara-negara tersebut. Dampaknya, aliran modal asing yang masuk ke Indonesia akan berkurang dan menyebabkan pelemahan rupiah sehingga surat utang Indonesia tidak akan menarik lagi di mata investor.
Dalam satu dekade terakhir, menurut dia tingkat suku bunga surat berharga negara (SBN) 10 tahun bergerak di kisaran 5-10%. "Untuk tahun 2022, kami targetkan di antara 6,32-7,27%," katanya.
Ia pun menegaskan akan terus berkomitmen memperbaiki kondisi fiskal dan pemulihan ekonomi disertai berbagai upaya reformasi struktural dan pendalaman pasar keuangan domestik. Hal tersebut akan berdampak terhadap penurunan suku bunga SBN tenor 10 tahun.
Sri Mulyani menargetkan tingkat suku bunga SBN 10 tahun akan berada dalam rentang 6,29-7,79% pada tahun ini. Sementara dalam APBN 2021, suku bunga SBN 10 tahun ditargetkan pada level 7,29%.
Kementerian Keuangan mencatat, utang pemerintah sebesar Rp 6.445,07 triliun per Maret 2021. Posisi utang pemerintah tersebut naik 24,12% jika dibandingkan pada Maret 2020 yang sebesar 5.192,56 triliun.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, perbaikan ekonomi global perlu dicermati Indonesia. "Perbaikan ini terus berlanjut terutama di AS dan Tiongkok," ujar Perry dalam kesempatan yang sama.
Dia pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan membaik menjadi 5,7% pada 2021 dan 4,2% pada 2022. Sementara, AS, Kawasan Eropa, dan Tiongkok akan tumbuh masing-masing 6,4%, 4,3%, dan 8,4% pada tahun ini dan 3,4%, 3,8%, dan 5,3% pada tahun depan.
Perry memperkirakan ada perubahan kebijakan moneter di Negeri Paman Sam pada tahun depan, yakni pengurangan stimulus moneter dan kemungkinan kenaikan suku bunga acuan. Kebijakan ini dipengaruhi oleh kenaikan inflasi dan ekonomi AS yang tumbuh cukup tinggi.
Selain itu, menurut dia, masih akan ada rencana tambahan stimulus fiskal US$ 2,2 triliun oleh Presiden AS Joe Biden. "Itu ketidakpastian dan risiko yang perlu dilihat ke depan," katanya.
Inflasi di Kawasan Eropa melonjak dari 1,6% pada April 2021 menjadi 2% pada Mei 2021. Inflasi di 19 negara Eropa ini melampaui target Bank Sentral Eropa (ECB), didorong oleh kenaikan biaya energi yang mencapai tingkat tercepat sejak akhir 2018 dan di atas tujuan ECB.
"Inflasi kembali dengan cepat pada saat berita tentang ekonomi meningkat dan pasar tenaga kerja mendapat untung dari pembukaan kembali." ujar Ekonom ING Bert Colijn dikutip dari laporan Reuters, Selasa (1/6) waktu setempat.
Meski demikian, angka tersebut dinilai belum mencapai puncaknya. Inflasi Eropa kemungkinan mendekati 2,5% pada akhir tahun.
Kendati begitu, lonjakan inflasi kemungkinan masih bersifat sementara, bahkan para pembuat kebijakan paling konservatif pun berpendapat hal yang sama. Pemicu pertumbuhan harga akan memudar pada awal tahun depan dan inflasi akan berada di bawah target untuk tahun-tahun mendatang, terutama karena pertumbuhan upah, komponen penting dari inflasi yang tahan lama belum akan cukup baik.