Tokopedia dan Bukalapak Respons Aturan Baru Impor Barang E-Commerce

Cindy Mutia Annur
26 Desember 2019, 18:25
impor via e-commerce, impor barang kiriman, kementerian keuangan, bea cukai
ANTARA FOTO/APRILLIO AKBAR
Ilustrasi. Pemerintah menurunkan batasan nilai barang impor yang mendapat pembebasan bea masuk dar US$ 75 menjadi US$ 3 mulai 30 Januari 2020.

Perusahaan e-commerce, Tokopedia, Bukalapak, dan Blanja.com menanggapi sejumlah ketentuan baru yang dikeluarkan Kementerian Keuangan untuk memperketat impor barang kiriman melalui perdagangan online. 

Ketentuan tersebut mencakup penurunan batasan atas nilai barang impor kiriman via e-commerce yang bebas bea masuk dari US$ 75 atau sekitar Rp 1,05 juta menjadi US$ 3 atau sekitar Rp 42 ribu mulai 31 Januari 2020. 

Batasan impor barang bebas pajak yang semula US$ 75 juga dihapus. Dengan demikian, hampir seluruh barang impor via e-commerce akan terkena Pajak Pertambahan Nilai atau PPN sebesar 10% dan Pajak Penghasilan atau PPh sebesar 10% untuk barang umum.

Bea Cukai juga akan mengintegrasikan sistem National Single Window atau NSW pada e-commerce guna memperketat pengawasan impor tersebut. 

CEO Tokopedia William Tanuwijaya merespons positif kebijakan tersebut. Menurut dia, kebijakan ini merupakan langkah awal yang tepat untuk mengurangi defisit neraca perdagangan yang terus memburuk dalam beberapa waktu terakhir.

"Ini agar produk impor yang masuk bukan didorong ransaksi retail langsung dari pedagang luar negeri yang tidak memberikan dampak ekonomi sama sekali kepada Indonesia," ujar William kepada Katadata.co.id, Kamis (26/12).

William melanjutkan, kebijakan ini  juga memberikan level playing field  atau perlakuan yang setara kepada pedagang yang menjual barang produksi dalam negeri.  "Lewat kebijakan ini, dampak ekonomi akan dirasakan oleh masyarakat Indonesia mulai dari lapangan pekerjaan, perputaran ekonomi, hingga peningkatan pendapatan pajak nasional," ujar William.

(Baca: Impor Barang di Atas Rp 42 Ribu Lewat e-Commerce Bakal Kena Bea Masuk)

AVP of Public Policy and Government Relations Bukalapak Bima Laga juga menyatakan pihaknya mendukung kebijakan pemerintah tersebut. "Kami selalu mengapresiasi sepanjang aturan yang ditetapkan selaras dengan kebutuhan dan perlindungan industri dalam negeri," ujar Bima kepada Katadata.co.id, Kamis (26/12).

Kendati demikian, ia enggan berkomentar lebih lanjut terkait detail perubahan kebijakan tersebut. Terkait integrasi data NSW, menurut dia, perusahaan masih berada pada tahap koordinasi lebih lanjut dengan pemerintah.

Sementara itu, Tax Manager Blanja.com Mochammad Jayadi Amin sempat terkejut dengan perubahan signifikan pada batasan nilai barang yang terkena bea masuk. Ia menilai kebijakan ini akan berdampak pada transaksi perusahaan lantaran mayoritas transaksi impor pada platform tersebut berada di bawah US$75. 

"Di satu sisi, kami juga melihat masih ada peluang positif dari tidak dikenakannya PPh atas barang-barang selain tas, sepatu dan produk tekstil. Mayoritas transaksi kami juga di luar ketiga jenis kategori barang ini," ujar Jayadi kepada Katadata.co.id, Kamis (26/12).

Mengenai integrasi data NSW, Jayadi menyebut perusahaan akan mendukung pengaplikasiannya. "Karena cukup positif untuk mempercepat proses kepabeanan dan juga untuk keterbukaan nilai pajak yang harus diibayar," ujar Jayadi.

(Baca: Perketat Impor, Bea Cukai Bakal Bisa Intip Data E-Commerce)

Adapun data yang bakal bisa diakses melalui integrasi sistem tersebut, yakni detail transaksi, seperti informasi pembeli, alamat pengiriman, NPWP, nama barang, dan tentunya nilai transaksi. "Harga jual pada platform akan mudah disandingkan dengan harga yang dideklarasikan pada saat impor barang. Di situ letak transparansinya," ujar Jayadi.

Berbeda dengan ketiga platform e-commerce tersebut, Shopee dan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) enggan memberikan komentar terkait kebijakan pemerintah itu. Adapun Lazada dan Blibli belum menanggapi komentar Katadata.co.id hingga berita ini ditulis.

Sebelumnya, Peneliti Keamanan Siber dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menilai, integrasi data akan lebih efektif menggunakan big data ketimbang aplikasi pemrogaman antarmuka atau Application Programming Interface (API).

“API itu mengoneksikan, bukan mengambil data. Data diambil secara crawl, kalau itu milik publik. Kalau dengan big data bisa ketahuan,” kata dia pada Maret lalu.

Reporter: Cindy Mutia Annur
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...