Dunia Berpotensi Kehilangan Rp 1.075 Kuadriliun Akibat Transisi Energi

Image title
Oleh Abdul Azis Said
21 Januari 2022, 11:21
transisi energi, energi baru, pertumbuhan ekonomi
Unsplash/American Public Power Association
Ilustrasi. Negara ekonomi berkembang dan berpenghasilan rendah akan menanggung beban yang tidak proporsional dalam hal biaya transisi energi.

Studi terbaru dari lembaga konsultan asal Inggris, Wood Mackenzie memperkirakan perekonomian dunia akan kehilangan US$ 75 triliun setara Rp 1.075 kuadiriliun (kurs Rp 14.340/US$) hingga 2050 sebagai risiko dari transisi energi. Namun, nilai kerugian ini akan berangsur menurun menuju akhir abad ini.

"Kami memperkirakan bahwa demi menjaga pemanasan hingga 1,5 derajat celcius produk domestik bruto (PDB) dunia pada 2050 akan berkurang 2% dari perkiraan dasar kami," tulis Wood Mackenzie dalam laporannya dikutip Jumat (21/1).

Berdasarkan perkirakaan Wood, PDB dunia  akan mencapai US$ 169 triliun pada 2050, naik dari saat ini US$ 85,6 triliun.

Kerugian kumulatif yang dihitung mulai tahun ini hingga 2050 dari transisi energi ini mencapai US$ 75 triliun. Namun secara material, kerugian ini hanya mencakup 2,1% dari nilai output ekonomi  dunia selama periode tersebut.

Wood memberikan catatan, nilai kerugian ekonomi dari transisi energi tersebut akan berjalan tidak merata. Dari total kemungkinan nilai kerugian US$ 75 triliun, sekitar 27% berasal dari Cina. Potensi kehilangan yang dialami Cina lebih besar dibandingkan Amerika sebesar 12%, Uni Eropa 11% dan India 7%.

Negara-negara maju terutama di Eropa dan Amerika Utara kemungkinan hanya akan mengalami kerugian minim akiat transisi ini. Di beberapa negara seperti Perancis dan Swiss bahkan masih bisa meraup untung, berupa adanya tambahan ke nilai PDB pada tahun 2050. 

Sementara beberapa negara eksportir hidrokarbon dan memiliki struktur ekonomi yang intensif terhadap karbon seperti di Timur Tengah akan menghadapi risiko palingesar. Pendapatan hidrokarbon menyumbang 95% dari semua pendapatan pemerintah Irak dan sektor minyak membentuk 36% dari PDB. Transisi energi yang dipercepat akan memangkas PDB Irak sebesar 10% pada tahun 2050.

Negara ekonomi berkembang dan berpenghasilan rendah akan menanggung beban yang tidak proporsional dalam hal biaya transisi energi. Bahkan dengan komitmen negara maju untuk memberikan bantuan keuangan US$ 100 miliar pun, Wood melihat pemulihan tetap tidak akan berjalan seimbang.

"Negara-negara maju harus berbuat lebih banyak untuk meningkatkan dampak jika ingin ada transisi yang benar-benar adil," kata Wood. 

Namun, seperti judul dalam studi tersebut 'no pain, no gain', Wood menyebut kerugian ekonomi dari transisi energi ini hanya bersifat jangka pendek-menengah. Jika target temperatur global tercapai, ini akan positif kepada lingkungan dan kemanusaiaan.

"Kami pikir titik baliknya akan terjadi sekitar tahun 2035, setelah itu pertumbuhan PDB global akan melampaui perkiraan dasar kami, yang berarti output ekonomi yang hilang dapat diperoleh kembali pada akhir abad ini," kata Wood.

Dalam jangka pendek, khususnya di awal implementasi transisi energi tentu akan mempengaruhi kinerja investasi negara-negara dunia. Hal ini karena harga dari teknologi baru rendah karbon kurang kompetitif. Sementara, diperkirakan butuh nilai investasi hingga US$ 50 triliun khusus untuk mendukung transisi energi di sektor kelistrikan dan infrastruktur.

Namun harga dari teknologi pendukung transisi energi baru seperti hadirnya kendara listrik, teknologi baterai dan carbon capture akan berangsur turun dari waktu ke waktu. Kondisi ini akan mendorong daya tarik investasi di sektor rendah karbon lebih menarik dibandingkan alternatif tinggi karbon.

Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...