Poin Menarik RUU PPSK: Pengaturan Bursa Karbon di Tangan OJK
Rancangan Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan mengamanatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengawasi perdagangan bursa karbon. Kementerian Keuangan mengatakan pembentukan bursa karbon yang kredibel saat ini menjadi prioritas utama pemerintah ketimbang implementasi pajak karbon.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu menjelaskan pembentukan pasar karbon yang kredibel akan menjadi salah satu langkah utama Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca atau GRK di dalam negeri. Adapun penerapan pajak karbon akan menjadi penopang bursa karbon dan meningkatkan kredibilitas bursa karbon di dalam negeri.
"Yang paling ingin kami dorong dalam menurunkan GRK adalah carbon pricing. Carbon pricing ada dua skema, yakni dengan pajak dan pasar. Pasar ini yang ingin kami dorong lebih kuat," kata Febrio di Kompleks Kantor DPR, Kamis (8/12).
Meski demikian, ia belum dapat memastikan apakah peluncuran pasar karbon domestik dapat direalisasikan tahun ini. Menurutnya, Kemenkeu akan bekerja sama dengan OJK dalam pembentukan bursa karbon yang kredibel dengan menerbitkan pajak karbon.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan implementasi pasar karbon turut diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Ini dilakukan dengan memberikan mandat pengawasn kepada OJK dengan menambah tugas Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal untuk mengawasi Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon.
"Kami masukkan bursa karbon ke dalam OJK untuk mengawasi bagaimana perdagangan karbon nanti melalui surat berharga. Sangat penting untuk ditatakelolakan secara benar dan baik," kata Sri Mulyani.
Dalam draf RUU PPSK versi 8 Desember yang diterima Katadata.co.id. OJK memiliki tugas untuk mengawasi kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, keuangan derivatif, dan bursa karbon. Bursa karbon diatur khusus dalam tiga pasal dalam RUU tersebut.
Menurut RUU PPSK, perdagangan karbon dalam negeri dan/atau luar negeri dapat dilakukan dengan mekanisme bursa karbon. Adapun bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara pasar yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
Perdagangan karbon melalui bursa karbon dilakukan dengan pengembangan infrastruktur perdagangan karbon, pengaturan pemanfaatan penerimaan negara dari perdagangan karbon, dan/atau administrasi transaksi karbon.
Sesuai RUU tersebut, perdagangan karbon melalui bursa karbon wajib memenuhi persyaratan dan telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan. Adapun aturan lebih lengkap akan dikeluarkan melalui peraturan OJK.
Sri Mulyani sebelumnya menyebut Indonesia membutuhkan dana hingga Rp 4.002,44 triliun untuk mencapai target penurunan emisi karbon menjadi 29% pada 2030. Kebutuhan dana tersebut naik Rp 541 triliun dibandingkan estimasi yang dikeluarkan sebelumnya.
Estimasi kebutuhan dana ini sesuai perhitungan dalam Third Biennial Update Report (BUR) yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun lalu. Estimasi tersebut berbeda dengan laporan BUR kedua 2018 sebesar Rp 3.461,31 triliun.
Adapun kebutuhan pendanaan untuk target penurunan emisi tersebut terutama dialokasikan ke sektor energi dan transportasi serta kehutanan.
"Kalau dilihat third BUR, kenaikan kebutuhan untuk kehutanan dan lahan itu menjadi Rp 309 triliun dan untuk energi transportasi Rp 3.500 triliun," kata Sri Mulyani dalam acara Kongres Kehutanan Indonesia (KKI) VII, Selasa (28/6).
Sektor lainnya yang juga membutuhkan dana jumbo untuk menurunkan emisi karbonnya, yaitu limbah sebesar Rp 185,27 triliun. Kebutuhannya naik dari perkiraan 2018 sebesar Rp 30,34 triliun. Kebutuhan pendanaan untuk menurunkan emisi di sektor pertanian juga naik dari Rp 5,18 triliun menjadi Rp 7,23 triliun. Sementara kebutuhan dana untuk menurunkan emisi di sektor IPPU turun dari perkiraan Rp 40,77 triliun menjadi Rp 930 miliar.