Risiko Jangka Panjang Pandemi yang Mengancam Perbankan
Lembaga Penjamin Simpanan memastikan kondisi perbankan membaik dan menyebut kecil peluang ada bank sistemik yang gagal dalam waktu dekat. Namun, perbankan masih harus menghadapi sejumlah risiko hingga beberapa tahun ke depan akibat Pandemi Covid-19.
Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anung Herlianto menjelaskan sebagian besar indikator utama perbankan menunjukkan kondisi yang aman. Per Oktober 2020, rasio kecukupan permodalan atau CAR perbankan mencapai 23,74%, jauh di atas ambang batas regulator.
Rasio kredit bermasalah atau non performing loan secara gross tercatat 3,15%, naik tipis dibandingkan September sebesar 3,14%. NPL nett bahkan turun dari 1,06% menjadi 1,03%. Namun, indikator rasio loan at risk atau kredit yang berisiko yang meningkat perlu diwaspadai.
"Ini sebagai dampak dari restrukturisasi kredit dan memang merupakan bantalan bagi sektor riil," ujar Anung dalam Ekonomi Outlook 2021: Geliat Industri Perbankan 2021 dalam streaming video, Rabu (25/11).
Rasio loan at risk pada Oktober 2020 mencapai 23,89%, naik dibandingkan bulan sebelumnya 23,53%. Penyaluran kredit juga masih lesu. Hingga Oktober 2020, kredit terkontraksi 0,47% menjadi Rp 5.480 triliun. Realisasi ini memburuk dibandingkan September yang masih tumbuh 0,12% mencapai Rp 5.531 triliun.
"Kredit terkontraksi baik year to date maupun year on year. Bank masih wait and see dan permintaan pun belum tumbuh karena sektor riil masih terdampak," katanya.
Sementara itu, dana pihak ketiga masih tumbuh kencang mencapai 12,12% menjadi Rp 6.620 triliun. Rasio kredit terhadap DPK atau LDR perbankan menurun dari 83,16% pada September menjadi 82,79% pada Oktober. "Ini akan berpengaruh pada profitabilitas perbankan," katanya.
Anung menjelaskan, kondisi perbankan setelah krisis 1997/1998 selama ini teruji mampu bertahan melalui berbagai krisis, seperti pada 2008-2009, mini krisis 2014-2016, hingga perang dagang pada tahun lalu. Krisis-krisis tersebut tak menggoyahkan kinerja aset perbankan yang terus tumbuh sejak 1999. "Tapi tahun ini melandai bahkan cenderung menurun," katanya.
Meski vaksin saat ini sudah ditemukan dan akan mulai didistribusikan, menurut Anung, risiko yang dihadapi perbankan akibat pandemi Covid-19 tak serta merta berakhir. Sektor riil masih harus dipulihkan.
Selain itu, ada risiko dari sebagian nasabah yang kreditnya direstrukturisasi gagal membayar. Bank tetap harus menghitung dengan cemat dan membuat pencadangan.
Berdasarkan data OJK, sebanyak 101 bank telah memberikan restrukturisasi kepada 7,55 juta debitur dengan nilai oustanding kredit mencapai Rp 934,8 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5,85 juta debitur merupakan UMKM dengan oustanding kredit mencapai Rp 371,1 triliun.
"Ini adalah restrukturisasi kredit terbesar sepanjang sejarah. Mudah-mudahan sebagian besar dapat pulih," katanya.
Saat ini, menurut Anung, OJK telah memutuskan untuk memperpanjang program restrukturisasi kredit perbankan hingga Maret 2022. Banyak debitur bagus yang masih membutuhkan waktu untuk memulihkan bisnis.
Dalam perkembanganya, OJK melihat banyak debitur bagus yang masih membutuhkan waktu untuk memulihkan bisnis. Ini menjadi dasar pertimbangan otoritas untuk memperpanjang POJK terkait restrukturisasi kredit hingga Maret 2022.
Ia pun meningatkan industri terkait aspek prudensial. Bank harus dapat mengidentifikasi debitur yang berhak atau tidak mendapatkan perpanjangan restrukturisasi.
Perbankan juga harus membuat pencadangan jika nasabah yang direstrukturisasi menunjukan potensi kegagalan. Selain itu, bank harus membuat stress test terkait kondisi para nasabahnya.
"Harus dilihat kemampuan perbankan dalam menyerap risiko atau CKPN. Beberapa bank cukup kuat ,tapi ada juga yang rentan," katanya.
Kondisi Bank Sistemik
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa pada Selasa (24/11) optimistis ketahanan industri perbankan secara keseluruhan terjaga. Ia juga meyakini tak ada bank sistemik yang berpotensi mengalami pemburukan kinerja dan berakhir gagal dalam jangka pendek.
"Pada dasarnya dalam jangka pendek, kami tidak melihat ada kemungkinan bank sistemik gagal. Apalagi data-data perbankan menunjukkan perbaikan," kata Purbaya dalam konferensi pers pengumuman suku bunga penjaminan melalui konferensi video.
Kondisi fundamental perbankan saat ini cukup baik, tercermin dari pergerakan Indeks Stabilitas Perbankan (BSI) yang berada dalam kategori normal. BSI pada 17 November 2020 berada di level 99,24 atau turun 16 bps dibandingkan akhir bulan Oktober 2020 seiring dengan penurunan tekanan pada pasar keuangan.
Berdasarkan penelusuran Katadata.co.id, sedikitnya 10 bank terbesar di Tanah Air masuk dalam kriteria berdampak sistemik. Hal ini terlihat dari laporan keuangan masing-masing bank terkait alokasi tambahan modal dalam bentuk capital surcharges untuk D-SIB yang wajib dibentuk oleh bank sistemik.
Dari 10 bank tersebut, sebagian besar mengalami penurunan laba bersih karena memupuk biaya pencadangan. Namun, kenaikan pencadangan juga diiringi oleh meningkatnya NPL.
BRI, Bank Mandiri, BCA, dan BNI mengalami penurunan laba karena menambah biaya pencadangan. Mayoritas retrukturisasi kredit perbankan berada di keempat bank terbesar ini.
Rasio permodalan keempatnya berada di atas 20% atau jauh di atas ketentuan regulator. NPL gross tiga bank BUMN berada di kisaran 3%, sedangkan BCA di kisaran 1,9%.
Pada kelompok bank yang sama yakni memiliki modal inti di atas Rp 30 triliun atau kelompok BUKU IV, penurunan laba akibat peningkatan biaya pencadangan hanya dialami CIMB Niaga. Sementara laba Bank Danamon dan Bank Panin masih tumbuh karena rasio NPL gross yang justru sedikit membaik dan tambahan biaya pencadangan yang menurun.
Adapun pemupukan pencadangan juga dilakukan oleh tiga bank sistemik lainnya, yakni BTPN, BTN dan Bank Pertama. Namun pada Bank Pemata tambahan pencadangan dilakukan karena perusahaan masih melanjutkan upaya perbaikan risiko kredit yang sudah meningkat jauh sebelum pandemi.
Sementara BTN justru mengalami kenaikan laba lantaran kinerja tahun sebelumnya yang terpukul.
Urgensi Perppu Sektor Keuangan
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan tantangan bagi perbankan akan semakin berat mulai tahun depan. Pertumbuhan kredit pada tahun depan hanya akan mencapai 1-3%.
"Kalau pertumbuhan hanya mencapai itu, kinerja bank akan semakin berat, tahun ini juga laba sudah merosot," kata Aviliani kepada Katadata.co.id.
Tantangan akan semakin berat setelah aturan restrukturisasi kredit OJK dicabut. Pasalnya, tak semua debitur yang direstrukturisasi akan pulih dan berstatus lancar.
Apalagi loan at risk atau kredit yang berpotensi gagal mencapai 23%. "Ini PR tersendiri bagi bank. NPL bisa meningkat setelah restrukturisasi" katanya.
Untuk itu, menurut Aviliani, dibutuhkan kebijiakan lanjutan usai ketentuan restrukturisasi kredit berakhir. Ini agar NPL perbankan tak langsung melonjak dan menimbulkan permsalahan lain.
Di sisi lain, amunisi regulator untuk menangani kemungkinan terburuk adanya bank gagal harus diperkuat. Salah satu yang utama, menurut Aviliani, adalah terkait kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan. Pemerintah sebenarnya sudah memperluas kewenangan LPS melalui PP Nomor 33 Tahun 2020.
Dalam PP itu, LPS dapat menyelamatkan bank sebelum ditetapkan sebagai bank gagal oleh OJK. Lembaga tersebut antara lain dapat mulai menawarkan bank bermasalah kepada investor hingga menempatkan dana pada bank tersebut.
Namun, PP tersebut tak cukup kuat karena berada di bawah undang-undang. Untuk itu, ia menilai, pemerintah perlu segera menerbitkan perppu terkait sektor keuangan.
Perppu juga diperlukan untuk mengatur kedudukan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dalam UU PPKSK, Menteri Keuangan hanya berfungsi sebagai koordinator sehingga menyulitkan proses pengambilan keputusan.
Menurut dia, Menkeu dapat menjadi ketua, bukan hanya koordinator sehingga KSSK dapat mengambil keputusan dalam situasi genting, tak perlu menunggu presiden.
"Kita tidak tahu krisis sampai kapan, jadi kalaupun kondisi terburuk terjadi harapannya sudah ada dewa penolong," katanya.