Jor-joran Utang Jumbo di Awal Tahun Memanfaatkan Banjir Dana Asing
- Pemerintah menarik utang mencapai Rp 100 triliun pada pekan pertama 2021.
- Aliran modal asing diperkirakan mengalir deras pada paruh pertama tahun ini.
- Target pembiayaan utang tahun ini mencapai Rp 1.177,7 triliun.
Pemerintah sepertinya tak mau melewatkan momentum banjir likuiditas global di awal tahun. Pada pekan pertama 2021, pemerintah telah menarik utang mencapai Rp 100 triliun melalui penerbitan surat utang negara dan obligasi global.
Penerbitan surat utang dalam denominasi rupiah, serta dolar AS dan euro kemarin mengalami kelebihan permintaan seiring minat investor asing yang kembali meningkat dan potensi banjir likuiditas global di tahun ini.
Pada penerbitan SUN, penawaran yang masuk mencapai Rp 97 triliun dengan nominal yang dimenangkan sebesar Rp 41 triliun. Minat yang tinggi saat penerbitan global bond bahkan berhasil membawa imbal hasilnya mencetak rekor terendah sepanjang sejarah.
Pada pekan depan, pemerintah juga telah memiliki rencana untuk melelang sukuk dengan target indikatif Rp 14 triliun. Penerbitan sukuk dilakukan dalam bentuk satu seri surat perbendaharaan negara syariah dengan imbalan diskonto dan empat seru sukuk dengan imbalan yang ditawarkan mulai 6,625% hingga 7,75%.
Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pembiyaan dan Pengelolaan Risiko Deni Ridwan menjelaskan, pemerintah akan menerapkan strategi front loading atau penarikan utang lebih besar di awal tahun untuk memanfaatkan kondisi likuiditas pasar keuangan yang longgar. Namun, ini akan dilakukan pemerintah secara terukur.
"Pemerintah akan tetap melakukan evaluasi berjalan sesuai dengan kondisi kas negara," kata Deni kepada Katadata.co.id, Jumat (8/1).
Pihaknya saat ini masih terus memonitor kondisi fiskal dan pasar keuangan dalam menetapkan target pembiayaan pada semester pertama.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai pemerintah ingin memanfaatkan momentum banjir likuiditas di awal tahun seiring optimisme pasar terhadap vaksinasi dan stimulus besar yang akan digelontorkan Amerika Serikat. Apalagi kebutuhan anggaran tahun ini sangat besar di tengah penerimaan pajak yang masih akan berat.
"Minat asing untuk masuk ke aset berisiko mulai meningkat dengan optimisme vaksin dan Indonesia menjadi tujuan karena secara fundamental, kondisi ekonomi kita masih sangat baik," ujar Josua kepada Katadata.co.id.
Hal ini, menurut dia, terlihat dari minat investor yang tinggi pada dua penerbitan surat utang pemerintah dalam rupiah maupun valas pada awal tahun ini. Strategi front loading juga menjadi langkah mitigasi risiko jika pasar keuangan bergejolak pada paruh kedua.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan Indonesia secara fundamental masih sangat menarik dengan imbal hasil atau return investasi yang masih cukup tinggi. Kondisi ini membuat Indonesia menjadi pilihan bagi para investor untuk menaruh dana saat risk appetite beralih pada aset berisiko.
"Fundamental ekonomi kita masih relatif baik. Inflasi terjaga rendah, current account sekarang surplus, pertumbuhan ekonomi walaupun masih negatif tapi menunjukkan perbaikan," kata Piter.
Aliran modal asing diperkirakan akan deras masuk ke Indonesia pada awal tahun ini seiring potensi stimulus AS yang lebih besar. Presiden terpilih AS Joe Biden yang akan resmi menggantikan Donald Trump pada 20 Januari berjanji untuk menggelontorkan stimulus lebih besar mencapai US$ 3 triliun. Partai Demokrat yang kini menguasai Kongres dan Senat AS pun diyakini akan memuluskan rencana stimulus tersebut.
Utang Tahun Lalu Melonjak Rp 1.226,8 Triliun
Di sisi lain, menurut Piter, Indonesia memiliki kebutuhan pembiayaan yang besar mengingat belanja perlu didorong untuk menyelamatkan masyarakat dan ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19. Pemerintah mengalokasikan belanja negara pada APBN 2021 mencapai Rp 2.750 triliun dengan defisit anggaran mengecil menjadi 5,7% terhadpa PDB.
Meski mengalokasikan anggaran belanja negara yang lebih besar tahun depan, pemerintah belum sepenuhnya menghitung kebutuhan belanja vaksin Covid-19. Pemerintah akan merealokasi anggaran untuk mengamankan kebutuhan dana vaksinasi bagi lebih dari 180 juta penduduk Indonesia dengan tetap menjaga defisit APBN 2021 sebesar 5,7% terhadap PDB.
Namun, menurut Piter, pemerintah tak seharusnya fokus pada defisit anggaran. "Kita butuh pandemi berakhir dan perekonomian pulih sehingga masyarakat bisa kembali hidup normal dan tidak jatuh miskin. Karena itu, apabila diperlukan, defisit bisa saja lebih lebar," katanya.
Pemerintah menargetkan pembiayaan utang sebesar Rp 1.177,4 triliun pada tahun ini, turun dibandingkan tahun lalu Rp 1.220,5 triliun.Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi pembiyaan utang tahun lalu melewati pagu yakni Rp 1.226,8 triliun. Padahal, defisit anggaran hanya mencapai Rp 953 triliun atau 6,09% terhadap PDB, berada di bawah target 6,34% terhadap PDB.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pembiyaan utang dilaksanakan secara prudent, fleksibel, dan terukur dengan mengoptimalkan sumber pembiayaan yang paling efisien. “Dengan defisit yang meningkat tajam, pembiayaan jadi tantangan yang sangat besar,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa secara virtual, Rabu (6/1).
Pembiayaan utang melalui SBN neto tercatat tumbuh signifikan sebesar 163,8% dari realisasi tahun sebelumnya Rp 446,3 triliun. Angka itu juga melewati target Perpres 72 yang sebesar Rp 1.173,7 triliun. Sementara itu, realisasi pinjaman neto tumbuh negatif 667,7% dari tahun lalu yang negatif Rp 8,7 triliun. Penarikan pinjaman tersebut turut melampaui target 106,3% yang tercatat Rp 46,7 triliun.
Meski demikian, ia menyebut masih terdapat sisa lebih pembiayaan anggaran Rp 234,7 triliun. Sri Mulyani menyebutkan sebagian dana SiLPA ditempatkan di perbankan karena tidak digunakan pada tahun lalu. "Itu tidak ditarik sebesar Rp 66,7 triliun di ebberapa Bank Himbara dan Bank Pembangunan Daerah," ujar dia.
Dana tersebut ditempatkan di perbankan agar bisa digunakan terlebih dahulu untuk penyaluran kredit sehingga diharapkan perekonomian bisa pulih dan pertumbuhan kredit kembali meningkat. Selain itu, sebagian SILPA yakni Rp 47,7 triliun digunakan untuk kebutuhan anggaran vaksinasi.