Pandemi Mengerek Utang Pemerintah Akhir Tahun Lalu Jadi Rp 6.074 T
Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah hingga akhir tahun lalu melonjak 27% dari Rp 4.778 triliun pada akhir 2018 menjadi Rp 6.074 triliun. Lonjakan utang pemerintah terjadi akibat pelemahan ekonomi dan kebutuhan pembiyaan yang meningkat untuk penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Berdasarkan data APBN Kita edisi Januari 2021, rasio utang pemerintah terhadap PDB pada akhir tahun lalu ikut terkerek dari 30,9% pada 2019 menjadi 38,68%. Rasio utang tersebut juga lebih tinggi dari proyeksi pemerintah 37,6% terhadap PDB, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.
Meski menanjak, pemerintah menegaskan rasio utang pemerintah masih berada di bawah batas maksimal yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara yakni 60% terhadap PDB.
Utang pemerintah pusat didominasi surat berharga negara yang mencapai Rp 5.221,65 triliun atau 85,96% dari total utang pemerintah. Dari total SBN tersebut, Rp 4.025,62 triliun dalam denominasi rupiah, sedangkan Rp 1.1963,03 triliun dalam valuta asing.
SBN dalam denominasi rupiah terdiri dari surat utang negara Rp 3.303,78 triliun dan surat berharga syariah negara atau sukuk Rp 721,84 triliun. Sedangkan SBN dalam valas berupa SUN Rp 946,27 triliun dan SBSN Rp 249,66 triliun.
Selain dalam bentuk penerbitan SBN, pemerintah juga menarik utang dalam bentuk pinjaman Rp 852,91 triliun atau 14,04% dari total utang. Pinjaman terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 11,97 triliun dan luar negeri Rp 840,94 triliun. Pinjaman luar negeri berasal dari kerja sama bilateral Rp 333,76 triliun, multilateral Rp 464,21 triliun, dan bank komersial Rp 42,97 triliun.
Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky menilai, utang Indonesia masih dalam batas yang relatif aman. Pertumbuhan ekonomi yang membutuhkan dorongan dari belanja pemerintah dan penerimaan pajak yang masih sulit membuat pemerintah tak memiliki banyak pilihan selain menambah utang.
Kendati demikian, menurut dia, disiplin fiskal perlu diperketat dalam beberapa tahun kedepan. Ini agar kredibilitas rating Indonesia tetap terjaga. "Ke depan juga perlu berhati-hati dalam menarik utang karena beban pembayaran bunga dalam APBN terus meningkat," ujar Riefky kepada Katadata.co.id, Senin (18/1).
Realisasi pembayaran bunga utang hingga 31 Desember 2020 tercatat sebesar Rp 314,08 triliun, naik 14% secara tahunan. Ini sejalan dengan tambahan penerbitan utang yang dilakukan untuk menutup peningkatan defisit APBN 2020 yang sebesar Rp 956,3 triliun dan peningkatan pengeluaran pembiayaan.
Japan Credit Rating Agency, Ltd sebelumnyamempertahankan peringkat utang atau sovereign credit rating Indonesia pada level BBB+ dengan outlook stabil. Peringkat itu mencerminkan kondisi ekonomi Indonesia yang tahan terhadap guncangan eksternal.
Kepala Manajer Departemen Pemeringkatan Internasional JCR Atsushi Masuda mengatakan ketahanan guncangan eksternal Indonesia didukung fleksibilitas nilai tukar dan kebijakan moneter. "Namun, peringkat tersebut dibatasi oleh ketergantungan yang relatif tinggi pada sumber daya alam, basis pendapatan masyarakat yang tetap kecil dibanding ukuran perekonomian, dan sistem keuangan domestik yang masih dalam proses pendalaman," tulis Masuda dalam keterangan resminya, Selasa (22/12).
Terdapat dua faktor utama yang mendukung pengukuhan peringkat utang Indonesia. Pertama, upaya pemerintah untuk mengendalikan dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian melalui sinergi antara kebijakan fiskal yang ekspansif dengan tetap secara berhati-hati mengelola pembatasan kegiatan ekonomi dan kebijakan Bank Indonesia yang secara agresif namun terukur menyediakan likuiditas bagi perekonomian.
Kedua, komitmen pemerintah untuk menjaga momentum reformasi struktural ekonomi meski di tengah pandemi. Ini terbukti dengan pemberlakuan Omnimbus Law Cipta Kerja.