Ceruk Pajak Digital: Transaksi e-Commerce hingga Penghasilan Youtuber
- Sektor digital menjadi harapan untuk mengungkit penerimaan pajak yang terpukul pandemi Covid-19.
- Ditjen Pajak akan membentuk gugus tugas penanganan pelaku ekonomi digital.
- Area potensi pajak digital, antara lain mencakup kepatuhan pajak ekosistem digital seperti pembayaran PPh oleh Youtuber.
Pandemi Covid-19 memukul penerimaan pajak tak hanya di Indonesia, tetapi hampir seluruh negara. Sektor digital yang tumbuh melesat selama pandemi kini menjadi incaran berbagai otoritas pajak, termasuk Direktorat Jenderal Pajak. Sasarannya bukan hanya pajak badan dari perusahaan raksasa teknologi, tetapi para pelaku yang juga meraup keuntungan, termasuk para konten kreator seperti Youtuber.
Amerika Serikat baru-baru ini mengeluarkan kebijakan untuk menarik pajak terhadap konten kreator Youtube di luar warga negara AS. Namun, pajak hanya dikenakan atas pendapatan iklan yang diperoleh dari penonton di wilayah AS sepanjang konten kreator melengkapi informasi pajaknya.
Mengutip keterangan resmi Google selaku induk usaha Youtube, Google berkewajiban mengumpulkan informasi, memotong pajak, dan melaporkannnya ke otoritas pajak AS saat pembuat konten yang tergabung memperoleh pendapatan royalti dari pemirsa di wilayah negara tersebut. Hal ini diatur berdasarkan Chapter 3 U.S. Internal Revenue Code. Google dapat mulai memotong pajak paling cepat Juni 2021.
Tarif pemotongan pajak berada di antara 0-30% untuk penghasilan yang diperoleh pembuat konten dari penonton di AS jika pembuat konten melaporkan informasi. Namun, ini bergatung pada hubungan pajak antara negara asal pembuat kreator dengan AS. Sementara untuk Youtuber asal Indonesia, pajak yang dikenakan akan sebesar 15% sesuai tax treaty antara Indonesia dan AS.
Adapun jika konten kreator tidak memberikan informasi pajak, Google secara otomatis akan memotong hingga 24% dari total penghasilan.
Upaya menggali penerimaan pajak dari sektor digital juga tengah dilakukan Uni Eropa. Wakil Presiden Eksekutif Komisi Eropa Valdis Dombrovskis mengatakan, Uni Eropa akan melanjutkan proposal untuk pungutan digital yang akan menjadi penerimaan pada 2023.
Krisis ekonomi akibat pandemi virus corona, menurut dia, membuat kesepakatan perpajakan bisnis digital dan penetapan pajak minimum menjadi lebih penting untuk segera diselesaikan.
Meski kesepakatan global di bawah OECD tetap dibutuhkan dan Eropa menyambut baik perubahan posisi AS, ia menyebut Eropa perlu membuat ipaya sendiri. Namun, ia memastikan Uni Eropa akan menyesuaikan kesepakatan OECD dan WTO.
Konsensus pajak digital batal tercapai pada akhir tahun lalu . Negara-negara anggota Inclusive Framework OECD sepakat memperpanjang batas waktu penyusunan konsensus hingga pertengahan tahun 2021. Adapun konsensus ini menyasar mekanisme pemajakan atas penghasilan yang diterima perusahaan multinasional yang melakukan transaksi lintas yurisdiksi atau negara.
Sejauh ini OECD sudah berhasil menyusun cetak biru kebijakan perpajakan internasional untuk disepakati secara multilateral. Dua pilar kebijakan yang akan disepakati, antara lain mengenai kebijakan hak pemajakan dan pengalokasian penghasilan yang lebih adil, serta penerapan instrumen pencegahan penggerusan basis pajak atau global anti base erosion proposal.
Gugus Tugas Pajak Digital
Langkah menggali potensi penerima pajak juga tengah dilakukan pemerintah. Ditjen Pajak berencana membentuk gugus tugas penanganan pelaku ekonomi digital untuk menggali potensi penerimaan dari sektor digital.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menjelaskan, gugus tugas ini sebenarnya sudah diinisiasi sejak 2020. Pihaknya mencoba memetakan dan mendalami proses transaksi digital yang terus berkembang. "Kami berusaha menjaga keadilan dalam pemungutan kewajiban perpajakan dari masing-masing wajib pajak yang melakukan transaksi ekonomi digital," kata Suryo dalam Konferensi Pers APBN KiTa edisi Maret 2021, Selasa (23/3).
Gugus tugas akan melakukan pemetaan terhadap pelaku ekonomi digital dan pengawasan terhadap aktivitas transaksi digital. Gugus tugas juga akan mengusulkan perbaikan regulasi ekonomi digital.
Suryo menilai, masukan dari gugus tugas diperlukan agar aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan menjadi lebih mudah. "Ini sebetulnya bukan sesuatu yang baru dan kami akan jalankan dari waktu ke waktu untu melihat proses transaksi ekonomi digital yang berkembang luar biasa," ujar dia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekan, pihaknya bakal terus menggali penerimaan negara. "Walau kita bisa jaga rating APBN di kondisi yang tetap sama dan stabil, tetapi yang paling penting adalah kemampuan menyehatkan kembali APBN," ujar Sri Mulyani dalam kesempatan yang sama.
Maka dari itu, menurut dia, diperlukan reformasi di bidang perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak. Dari sisi pajak, gugus tugas ekonomi digital akan menjadi salah satu reformasi penting.
Ekonom Senior Center Of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet menuturkan bahwa pembentukan gugus tugas ekonomi digital merupakan langkah inovatif. "Seperti yang kita tahu bahwa potensi ekonomi digital di tanah air cukup besar," kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Selasa (23/3).
Menurut dia, omzet ekonomi digital yang terekam melalui Gross Merchandise Value/GMV Indonesia pada 2019 diperkirakan mencapai US$ 40 miliar. Nilai tersebut bahkan lebih besar dibandingkan Singpaura yang dikenal sebagai salah satu negara dengan adaptasi digital terbaik di Asia.
Pada 2025, sambung Yusuf, nilai GMV di Indonesia akan mencapai US$ 130 miliar atau meningkat sebanyak 225%. Nilai ini setara dari 44% dari total GMW seluruh Asia Tenggara pada tahun 2025.
Dengan potensi besar ekonomi digital, ia menilai bahwa menjadi wajar pemerintah membentuk gugus tugas khusus untuk menggali potensi pajak digital. Hal serupa pernah dilakukan oleh otoritas pajak Jepang untuk pajak e-commerce dengan membentuk unit khusus bernama Professional Team for e-Commerce Taxation (PROTECT). Unit ini bertugas melakukan pemeriksaan dan pengumpulan data dari segala transaksi yang berhubungan dengan transaksi e-commerce hingga melakukan pelatihan terkait e-commerce .
Hingga saat ini, sudah ada 46 perusahaan digital yang memungut PPN untuk disetorkan ke kas negara. Per 23 Desember 2020, penerimaan PPN dari 23 perusahaan digital tercatat Rp 616 miliar.
Pengamat pajak dari DDTC Bawono Kristiaji menyebut, terdapat tiga area potensi pajak digital. Pertama, PPN dari aktivitas barang/jasa digital lintas yurisdiksi, seperti langganan film berbayar, game, musik, dan sebagainya. "Saat ini kita sudah memiliki peraturan untuk menggali potensi di sektor ini yaitu PMK 48/2020. Saya menduga penerimaannya juga akan terus meningkat," ujar Bawono kepada Katadata.co.id, Selasa (23/3).
Kedua, PPh perusahaan digital lintas yurisdiksi. Saat ini konsensus global untuk memajaki perusahaan-perusahaan tersebut masih belum disepakati. Indonesia sebenarnya sudah memiliki aturan terkait hal tersebut melalui UU No.2 Tahun 2020. Aturan tersebut mencakup skenario pengenaan Pajak Transaksi Elektronik.
"Jika konsensus global tidak tercapai, ada baiknya Indonesia merilis ketentuan teknis untuk memajakinya. Potensinya juga besar mengingat pengguna platform automated digital services di Indonesia besar.
Ketiga, kepatuhan pajak ekosistem digital dalam negeri, mencakup PPN dan PPh dari berbagai transaksi dan penghasilan yang ada di dalam negeri. Ia mencontohkan pembayaran pajak oleh youtuber, pelapak di platoform e-commerce, hingga transaksi fintech. Untuk area ini, menurut dia, dibutuhkan terobosan administrasi untuk meningkatkan kepatuhan.
"Ini juga belum diatur secara detail dan komprehensif, padahal potensinya besar," ujarnya.
Selain terobosoan administrasi, menurut Bawono, kebijakan seperti pajak Youtuber yang telah diberlakukan di AS juga dapat dipertimbangkan."Optimialisasi sektor digital melalui berbagai cara urgent di tengah kondisi fiskal saat ini," katanya.
Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan pajak hingga akhir Februari 2021 turun 4,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp 146 triliun. Jumlah tersebut baru mencapai 12,8% dari target. Namun, total pendapatan negara mencapai Rp 219,2 triliun, naik tipis 0,7% dbandingkan Februari 2020 seiring lonjakan penerimaan bea cukai yang mencapai 42,1%.
Sementara itu, total belanja negara bulan lalu naik 1,2% menjadi Rp 282,7 triliun sehingga defisit anggaran tercatat Rp 63,6 triliun.