Pemerintah Terus Tagih Utang BLBI, Lapindo, dan Bambang Trihatmodjo
Kementerian Keuangan memastikan terus menagih utang PT Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo, Bambang Trihatmdojo, hingga para obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada negara.
Direktur Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-Lain Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Lukman Efendi mengatakan, penagihan utang BLBI saat ini terus berproses. "Ada satuan tugasnya dan ini sedang digodok terus," ujar Lukman dalam Bincang Bareng DJKN, Jumat (28/5).
Utang BLBI mencakup 22 obligor dengan total aset yang ditagih mencapai Rp 110 triliun dari 12 ribu berkas. Aset BLBI tak hanya berbentuk kredit, tetapi juga properti, nostro (rekening uang asing), hingga saham dan tabungan.
Kementerian Keuangan juga masih mengupayakan penagihan utang kepada Bambang Trihatmodjo.. "Posisi sekarang, sepanjang dia (Bambang) belum melunasi, kami akan tagih sesuai dengan peraturan perundang-undangan," katanya.
Bambang sempat menggugat Menteri Keuangan Sri Mulyani ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) untuk membatalkan perintah pencekalan terhadap dirinya. Namun, gugatan tersebut ditolak oleh pengadilan.
Pencekalan Bambang merupakan buntut utang masa lalunya kepada negara saat menjadi ketua pelaksanaan Sea Games 1997. Namun hingga kini Kementerian Keuangan tak mengungkap berapa utang uang dimiliki Bambang.
Dengan ditolaknya gugatan oleh pengadilan, pencegahan terhadap anak mantan Presiden Soeharto ini untuk bepergian ke luar negeri tetap berlaku hingga utangnya kepada negara dilunasi.
PTUN juga menghukum Bambang, sebagai penggugat, untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 429 ribu. Sidang pembacaan putusan dilakukan secara virtual pada awal Maret 2021. Putusan dibacakan setelah hampir enam bulan gugatan dilayangkan.
Lukman mengatakan, pemerintah juga terus menagih utang Lapindo yang belum kunjung dibayarkan. "Masih berproses," ujar dia.
Pokok utang dana talangan Minarak Lapindo, sesuai Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2018 mencapai Rp 773,382 miliar. Pokok utang tersebut belum termasuk bunga 4% dengan perjanjian selama empat tahun sejak Juli 2015 atau sebesar Rp 126,83 miliar.
Selain itu, terdapat denda atas keterlambatan pembayaran utang yaitu sebesar Rp 699,13 miliar. Dengan demikian, total utang yang wajib dibayarkan anak Lapindo Brantas Inc. kepada pemerintah mencapai Rp 1,564 triliun per akhir 2018. Sejauh ini, Lapindo baru melakukan pembayaran Rp 5 miliar pada Desember 2018.
Lapindo sempat mengajukan skema penukaran utang dengan pemerintah. Lapindo menganggap pemerintah memiliki utang sebesar US$ 138,2 juta atau sekitar Rp 1,9 triliun kepada perseroan. Klaim utang tersebut berasal dari penggantian biaya eksplorasi minyak dan gas atau cost recovery.
Namun, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas menilai klaim Lapindo tersebut tidak tepat. Lapindo belum berhasil menemukan cadangan migas sehingga belum bisa diberikan biaya penggantian.
Selain itu, biaya penggantian pun tidak dibayarkan tunai melainkan berbentuk produksi migas. “Ini bukan piutang Lapindo ke pemerintah, namun unrecovered cost atas biaya investasi yang belum dikembalikan sesuai mekanisme production sharing contract wilayah kerja Brantas,” ujar Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher pada pertengahan tahun lalu.