Kinerja Kinclong, Kemenkeu Pangkas Insentif Pajak untuk Eksportir
Direktorat Jenderal Pajak melakukan penyesuaian atas sejumlah insentif pajak yang diberikan kepada badan usaha dalam rangka menghadapi dampak Pandemi Covid-19. Perusahaan yang telah mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dan perusahaan kawasan berikat tidak lagi mendapatkan sejumlah fasilitas pajak.
"Pemberian insentif perpajakan perlu diberikan secara selektif dengan prioritas kepada sektor tertentu yang tertahan dan perlu lebih didukung laju pemulihannya, seperti jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa angkutan, konstruksi, dan akomodasi," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor dalam Siaran Pers, Kamis (15/7).
Dalam penyesuaian terbaru, perusahaan yang telah mendapatkan fasilitas KITE dan perusahaan di kawasan berikat tidak lagi memperoleh insentif PPh pasal 21, insentif PPh pasal 22 impor, insentif angsuran PPh pasal Pasal 25, dan insentif PPN.
Pemerintah tetap memberikan insentif PPh pasal 21 ditanggung pemerintah kepada karyawan yang bekerja pada perusahaan yang bergerak di satu dari 1.189 bidang usaha tertentu. Namun, jumlah wajib pajak yang memperoleh insentif pungutan PPh 22 impor dibatasi dari semula bergerak di 730 bidang usaha menjadi 132 bidang usaha.
Wajib pajak yang menerima insentif angsuran PPh pasal 25 juga dibatasi dari semula mencakup 1.018 bidang usaha menjadi 216 bidang usaha. Pengusaha kena pajak berisiko rendah yang mendapatkan insentif PPN berupa percepatan restitusi PPN untuk jumlah lebih bayar paling banyak Rp 5 miliar juga dibatasi dari semula mencakup 725 bidang usaha menjadi 132 bidang usaha.
Di sisi lain, pemerintah akan memberikan insentif PPh final jasa konstruksi ditanggung pemerintah kepada wajib pajak yang menerima penghasilan dari usaha jasa konstruksi dalam Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI).
Pemerintah juga melakukan penyesuaian pada insentif pajak UMKM. Pelaku UMKM tetap mendapat insentif PPh final tarif 0,5% sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 (PPh Final PP 23) yang ditanggung pemerintah. Dengan demikian, wajib pajak UMKM tidak perlu melakukan setoran pajak.
Pihak-pihak yang bertransaksi dengan UMKM juga tidak perlu melakukan pemotongan atau pemungutan pajak pada saat melakukan pembayaran kepada pelaku UMKM. Pelaku UMKM yang ingin memanfaatkan insentif ini tidak perlu mengajukan surat keterangan PP 23, tetapi cukup menyampaikan laporan realisasi setiap bulan.
Neilmaldrin menjelaskan, pemberi kerja atau wajib pajak harus menyampaikan atau mengajukan kembali pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah, insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, atau permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22 Impor kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar melalui www.pajak.go.id.
Pemberi kerja atau wajib pajak yang hendak memanfaatkan insentif PPh pasal 21 ditanggung pemerintah atau pengurangan besarnya angsuran PPh pasal 25 mulai masa pajak Juli 2021, diberikan relaksasi penyampaian pemberitahuannya hingga 15 Agustus 2021.
Badan Pusat Statistik mencatat kinerja ekspor terus menujukkan tren kenaikan sepanjang tahun ini. Ekspor pada Juni mencapai US$ 18,55 miliar, naik 9,52% dibandingkan bulan sebelumnya dan melesat 54,46% dibandingkan Juni 2020.
Kenaikan ekspor terutama didorong oleh kenaikan sejumlah harga komoditas yang masih berlanjut. Harga minyak mentah Indonesia atau ICP naik 7,42%, harga batu bara 21,42%, nikel 2,29%, dan timah 0,79%.
"Kami melihat ekspor selama 2021 sangat menjanjikan," kata Kepala BPS Maryo Yuwono dalam Keterangan Pers, Kamis (15/7).
BPS mencatat total ekspor sepanjang semester pertama tahun ini mencapai US$ 102,87 miliar, naik 34,78% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ekspor nonmigas naik 34,6% menjadi US$ 97,06 miliar, sedangkan ekspor migas naik 48,54% menjadi US$ 5,82 miliar.
Kinerja ekspor yang kinclong membawa Indonesia mencatatkan surplus perdagangan pada semester pertama tahun ini mencapai US$ 11,86 miliar dolar AS.